PENDAHULUAN
Dalam rangka mempersiapkan rencana presentasi Bapak Menteri negara PPN/Ketua Bappenas tentang Kebijaksanaan Pembangunan Indonesia kepada Yang Dipertoan Agong Malaysia pada tanggal 10 Oktober 1997 bertempat di Wisama Negara, disiapkan beberapa pokok-pokok penjelasan dengan topik dasar "Isu dan Permasalahan Pembangunan Daerah dalam Repelita VI" yang dituangkan ke dalam makalah ini.
Sesuai dengan kerangka pemaparan yang diminta oleh
Deputi Bidang Fiskal dan Moneter, dapat dikemukakan kerangka sebagai berikut:
(1) sistem/mekanisme perencanaan pembangunan tahunan daerah; (2) hasil-hasil
PJP I dalam Pembangunan Daerah; (3) rencana PJP II dan Repelita VI untuk
Bidang Pembangunan Daerah; dan (4) current issues dalam pembangunan daerah.
SISTEM/MEKANISME PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Pelaksanaan mekanisme perencanaan dan pengendalian pembangunan di daerah selama ini yang mengacu kepada Permendagri No. 9 Tahun 1982 tentang P5D, dirasakan sudah perlu untuk disempurnakan dan diperbaharui untuk disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang selalu berubah dengan sangat dinamis. Pada kenyataannya, selama ini banyak ditemui berbagai kendala dan hambatan terhadap penerapan mekanisme perencanaan dan pengendalian pembangunan di daerah, yang tidak hanya terkait dengan masih rendahnya kepedulian instansi sektoral di tingkat pusat terhadap pendekatan desentralisasi pembangunan namun juga kenyataan masih kurang efektifnya penyelenggaraan berbagai forum koordinasi perencanaan pembangunan yang dilaksanakan sejak dari tingkat desa hingga pada tingkat nasional.
Selain itu, penyelenggaraan berbagai forum koordinasi perencanaan pembangunan yang menurut Permendagri 9/82 dirancang untuk dapat mempertemukan aspirasi dari bawah (bottom up) dan dari atas (top down) tersebut, selama ini menunjukkan kinerja yang masih sangat jauh dari harapannya. Selama pelaksanaan P5D dalam 14 tahun terakhir ini, terlihat bahwa efektivitasnya dalam mempertemukan dan mensinkronkan berbagai aspirasi yang berasal dari bawah (yang berorientasi regional) dengan aspirasi dari atas (yang berorientasi sektoral) masih jauh dari memuaskan. Sebagai keluaran dari mekanisme P5D yang selama ini ada, adalah relatif masih lebih kuatnya aspirasi sektoral dibandingkan dengan aspirasi regional, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan berbagai forum koordinasi pembangunan sejak dari tingkat desa hingga pada tingkat pusat tersebut belum menghasilkan keluaran yang secara nyata dibutuhkan daerah. Belum lagi dengan memperhatikan kenyataan bahwa di luar mekanisme P5D tersebut, masih terdapat berbagai forum koordinasi perencanaan teknis sektoral yang diselenggarakan oleh masing-masing instansi sektoral di tingkat pusat.
Belum berfungsi secara efektifnya mekanisme P5D sebagai wahana dalam rangka mempertemukan proses perencanaan dari bawah (regional/bottom-up) dengan proses perencanaan dari atas (sektoral/top down). Mekanisme P5D sebagai suatu pedoman dalam penyelenggaraan perencanaan tahunan pembangunan dari tingkat desa hingga tingkat pusat, pada kenyataannya masih relatif belum dapat mengangkat aspirasi dan kepentingan daerah secara lebih proporsional dengan perencanaan alokatif yang ditetapkan oleh sektoral pusat.
Untuk itu dalam rangka perbaikan kinerja mekanisme perencanaan tahunan tersebut, tengah diupayakan suatu penyempurnaan terhadap mekanisme yang diatur dalam Permendagri No. 9 Tahun 1982 tersebut melalui upaya penyusunan draft/konsep rancangan Keppres tentang Koordinasi Perencanaan Pembangunan yang dikoordinasikan penyusunannya oleh Bappenas. Sejalan dengan upaya tersebut, sebenarnya Departemen Dalam Negeri sejak lima tahun terakhir ini telah menyadari bahwa kinerja mekanisme perencanaan tahunan melalui P5D tersebut sudah sangat perlu untuk disempurnakan, yaitu melalui uoaya penyusunan draft Keppres tentang P5D yang secara teknis dibantu oleh tim ahli dari GTZ (RF Jerman).
Selain terkait dengan mekanisme perencanaan tahunan yang pada umumnya berorientasi pada DUP sektoral APBN (pusat), perlu pula disinggung disini mekanisme perencanaan tahunan lainnya yang bersifat non-DIP APBN seperti untuk Inpres, pinjaman, dan Bantuan Luar Negeri (BLN), serta investasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan. Pada kenyataannya, mekanisme perencanaan dari ketiga sumber pembiayaan pembangunan tersebut dirasakan belum dapat secara penuh terintegrasi di dalam mekanisme baku yang telah ada, yaitu P5D, dan masih terlepas secara tersendiri diselenggarakan proses perencanaannya.
Untuk itu, dalam rangka lebih menterpadukan dan mendayagunakan proses dan mekanisme yang ada, dalam rancangan Keppres tentang Koordinasi Perencanaan Pembangunan, tengah diupayakan untuk menyelenggarakan perencanaan tahunan yang terpadu dan sinkron secara lintassektor, lintaswilayah administratif, dan lintasumber pembiayaan, sehingga dapat dimunculkan suatu keterpaduan dalam perencanaan, pengelolaan, maupun pengendaliannya.
Implementasi dari upaya keterpaduan dan sinkronisasi tersebut, telah mulai diujicobakan dalam forum Rakorbang Dati II dan Dati I serta Konregbang pada tahun 1996 dan 1997, yang muaranya adalah pada Konasbang 1996 dan 1997, dimana antara lain akan diupayakan untuk semakin meningkatkan keserasian dan keterpaduan antara perencanaan sektoral dengan perencanaan regional dan daerah.
Salah satu penyebab dari belum efektifnya mekanisme P5D selama ini, adalah masih belum adanya rasa memiliki (sense of belonging) dan masih rendahnya tanggung jawab (responsibility) dari berbagai instansi teknis sektoral di tingkat pusat terhadap mekanisme perencanaan pembangunan tersebut; yang pada umumnya masih menganggap bahwa P5D yang diatur melalui Peraturan Mendagri tersebut adalah produk dan milik Depdagri dan Pemerintah Daerah, dan bukan sebagai pedoman yang harus diikuti oleh instansi sektoral lainnya di tingkat pusat. Untuk itu, sebagai upaya untuk dapat lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna dari P5D khususnya bagi instansi sektoral pusat secara keseluruhan, dalam lima tahun terakhir ini tengah dirancang suatu rancangan Keppres tentang P5D yang diharapkan dapat menampung berbagai aspirasi sektoral dan regional secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.
Rancangan Keppres tentang P5D tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman yang baku terhadap penyelenggaraan berbagai forum rapat koordinasi perencanaan pembangunan di daerah, baik yang berorientasi sektoral maupun regional, untuk dapat dilaksanakan secara terpadu. Namun demikian, mengingat bahwa suatu peraturan berupa Keppres hanya mengatur hal-hal yang bersifat makro, maka diperlukan suatu manual yang sifatnya mikro/operasional sebagai petunjuk pelaksanaan dan mekanisme dan substansi teknis dari berbagai forum rapat koordinasi perencanaan pembangunan yang diatur dalam Keppres tersebut. Pengaturan secara teknis dan operasional dari mekanisme dan substansi dalam P5D tersebut, diharapkan dapat dikeluarkan oleh instansi yang mempunyai kewenangan dalam aspek perencanaan pembangunan, yang dalam hal ini adalah Bappenas.
Untuk itu, Bappenas yang terutama dalam hal ini Deputi Bidang Regional dan Daerah, telah memberikan komitmen dan keterlibatan aktifnya di dalam penyusunan rancangan Keppres maupun penjabarannya ke dalam berbagai petunjuk pelaksanaan mekanisme dan substansi perencanaan pembangunan di daerah. Dalam hal ini, kedudukan Deputi Bidang Regional dan Daerah di Bappenas tidaklah sendirian, namun juga selalu melakukan koordinasi baik yang sifatnya internal Bappenas maupun eksternal dengan instansi mitra lainnya di tingkat pusat dan juga dengan pemerintah daerah. Perlunya keterlibatan Deputi lainnya di Bappenas dapat ditunjukkan dalam contoh keterkaitan Deputi Bidang Pembiayaan dan Pengendalian Pelaksanaan dalam mempertimbangkan rancangan APBN (sektoral dan Inpres) dan RAPBD di masing-masing daerah sebagai keluaran akhir dari berbagai tahapan proses perencanaan dari tingkat desa hingga pada tingkat nasional. Sedangkan keterlibatan Deputi sektoral Bappenas juga sangat diperlukan dalam rangka melakukan justifikasi terhadap usulan APBN yang berasal dari instansi sektoral pusat.
Di lain pihak, koordinasi yang sifatnya eksternal juga sangat diperlukan, yang dalam hal ini khususnya dengan pihak Departemen Dalam Negeri. Perlunya pelibatan Depdagri adalah dengan mempertimbangkan kedudukan Depdagri selaku pembina umum penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, dalam kaitannya dengan hubungan antara Depdagri dan Pemda yang sifatnya vertikal dekonsentrasi, merupakan peluang untuk dapat tersampaikannya berbagai peraturan/pedoman yang akan disusun rancangannya sebagai acuan Pemda di dalam penyelenggaraan mekanisme P5D. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat bahwa P5D selama ini mengacu pada Permendagri dan rancangan awal dari rancangan Keppres tentang P5D juga disusun oleh Departemen Dalam Negeri, serta dengan mempertimbangkan pula bahwa selama ini juklak tentang pelaksanaan forum-forum rapat koordinasi perencanaan sejak dari tingkat desa hingga pusat juga diterbitkan oleh Depdagri.
Selanjutnya dengan mempertimbangkan bahwa investasi pembangunan dalam Repelita VI dan PJP II diarahkan untuk dapat semakin meningkatkan peranserta swasta sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan, maka pada mekanisme P5D yang selama ini masih hanya berorientasi pada investasi pemerintah diperlukan suatu komitmen untuk dapat pula memperhatikan potensi investasi swasta dalam pembangunan daerah secara lebih nyata. Untuk itu, diperlukan keterpaduan dalam pelaksanaan berbagai tahapan perencanaan pembangunan di daerah, yang dapat sekaligus menampung kontribusi pendanaan pemerintah dan swasta secara keseluruhan bagi pembangunan daerah.
Selain itu, dengan mempertimbangkan bahwa kinerja
sumber pembiayaan pembangunan daerah yang selama ini masih sangat berorientasi
kepada bantuan pendanaan dari pemerintah pusat, maka upaya untuk menggali
sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerah juga sangat diperlukan secara
ekstensif, baik yang bersumber dari daerah sendiri maupun sumber pendanaan
lainnya dari Pusat seperti RPD (rekening pembangunan daerah) dan bantuan
luar negeri yang disalurkan melalui SLA (subsidiary loan agreement).
Dalam berbagai tahapan forum perencanaan pembangunan yang selama ini diatur
dalam P5D, diketahui bahwa fokusnya masih sangat berorientasi pada pendanaan
pemerintah yang konvensional melalui APBN dan APBD, serta belum mempertimbangkan
potensi sumber pembiayaan pembangunan daerah lainnya baik dari pemerintah
maupun pemanfaatan secara optimal potensi investasi swasta dalam pembangunan
daerah.
Perencanaan Pembangunan yang Bersifat Mendesak dan Khusus
Selain pola dan mekanisme perencanaan pembangunan yang sifatnya konvensional dan berkala tersebut di atas, kegiatan perencanaan pembangunan juga mengenal pola yang sifatnya khusus/crash program, yang pada umumnya dimaksudkan untuk melakukan percepatan pembangunan dalam rangka penanggulangan permasalahan yang bersifat mendesak dan khusus. Dalam hal ini, kita bisa melihat dari beberapa kegiatan khusus yang diarahkan untuk menangani suatu permasalahan pembangunan yang mendesak untuk ditanggulangi, seperti: (i) reorientasi kebijaksanaan pembangunan Timor Timur terpadu (pasca peristiwa Dilli), yang dibentuk tim khusus di dalam penanganannya; (ii) koordinasi pembangunan Irian Jaya (pasca kasus Timika), yang dibentuk tim khusus dalam pengelolaannya; (iii) koordinasi pembangunan Pantura Jakarta dan Bopunjur (pasca banjir Jakarta); dan pada penanganan dan penanggulangan bencana alam yang memerlukan upaya segera dan berjangka pendek. Sebenarnya keberadaan dari tim-tim yang bersifat sangat intensif, khusus dan temporer (adhoc) tersebut ditujukan untuk melakukan penanganan yang segera (jangka pendek) dan terkoordinasi, sehingga dibutuhkan pendanaan yang cepat dan terprogram dalam jangka pendek. Dalam kasus seperti ini, walaupun pada umumnya perencanaan anggarannya juga melalui pola DIP ataupun Inpres, namun pada beberapa kasus yang sangat mendesak dialokasikan anggarannya melalui dana non-budgeter seperti dari dana reboisasi (DR), yang umumnya untuk penanggulangan bencana alam.
Selain penanganan yang berjangka pendek dan mendesak di atas, terdapat pula pola perencanaan yang ditujukan untuk menangani kegiatan pembangunan yang berskala makro dan strategis dalam rangka merumuskan kebijaksanaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah, yang pengelolaannya dilakukan secara terkoordinasi lintassektoral dan lintaswilayah administratif serta lintassumber pendanaan. Dalam hal ini dapat kita temui pada koordinasi yang dilakukan terhadap pembangunan KTI, dimana dibentuk suatu dewan tersendiri (DP-KTI), atau pada pengelolaan tata ruang melalui Badan Koordinasi TRN.
Mengingat bahwa fungsi koordinasi sangat dipentingkan dalam perumusan strategi dan kebijaksanaan pembangunan di atas, maka dalam hal ini Bappenas telah ditunjuk melalui Keppres untuk melakukan koordinasi terhadap pengelolaan perencanaan program pembangunan yang dilakukan secara lintassektoral dan terpadu. Sebagai salah satu contoh dalam rangka koordinasi yang sifatnya intensif dan terpadu tersebut, adalah dalam rangka penyusunan masterplan KAPET di 13 propinsi se-KTI, dimana perencanaannya dilakukan secara terkoordinasi antara DP-KTI dengan BKTRN, yang dalam kasus ini Deputi V Bappenas bertindak selaku sekretaris DP-KTI dan Ketua Pokja TRN.
HASIL-HASIL PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PJP I
Pembangunan daerah yang dilaksanakan dalam PJP I, telah banyak menghasilkan kemajuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa, terutama peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah, yang tercermin dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hasil pembangunan daerah meliputi hasil dalam bidang ekonomi, kesejahteraan sosial, ketersediaan prasarana, kemampuan keuangan daerah, dan kelembagaan.
Dalam bidang ekonomi struktur perekonomian daerah telah menunjukkan adanya perubahan ke struktur yang lebih seimbang antara sektor pertanian, industri dan jasa. Ini ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian di satu sisi, dan meningkatnya peranan sektor industri dan jasa di sisi lain. Perubahan tersebut telah berlangsung di seluruh propinsi.
Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) dan PDRB per kapita telah meningkat dengan pesat dan menunjukkan hasil yang menggembirakan di semua propinsi. Bersamaan dengan peningkatan dalam pendapatan, pemerataan pendapatan secara nasional juga mengalami perbaikan. Secara umum, kedua hal tersebut di atas menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan masyarakat disertai pula dengan peningkatan pemerataannya. Kedua hal tersebut juga berpengaruh pada berkurangnya jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta jiwa atau 40 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1976 menjadi 27,2 juta jiwa atau 15 persen dari jumlah penduduk pada tahun 1990. Pengurangan itu terjadi hampir di seluruh propinsi.
Tingkat kesejahteraan penduduk di daerah telah mengalami kemajuan yang berarti seperti ditunjukkan oleh beberapa indikator, yaitu tingkat melek huruf, angka kematian bayi, dan angka harapan hidup. Kemajuan ini menunjukkan makin baiknya kualitas hidup secara fisik di seluruh daerah sejalan dengan makin baiknya tingkat pendapatan dan pemerataan pendapatan masyarakat.
Kemampuan keuangan pemerintah daerah, sebagai salah satu indikator keberhasilan ekonomi daerah, telah pula meningkat dengan pesat. Dalam periode 1985/86 - 1986/87 pertumbuhan penerimaan daerah dari pajak bumi dan bangunan (PBB) meningkat sebesar 180 persen dan dalam periode 1986/87 hingga 1992/93 penerimaan ini telah meningkat sebesar 262 persen. Hal ini disebabkan oleh perubahan sistem pajak kekayaan dari iuran pembangunan daerah (IPEDA) menjadi PBB dan perbaikan efisiensi administrasi PBB. Sementara itu pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah tingkat I dan II telah pula menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pertumbuhan rata-rata per tahun bagi PAD pemerintah daerah tingkat I dan II masing-masing adalah 21,4 persen dan 19,2 persen dalam kurun waktu 1986/87 - 1991/92. Kedua hal ini menunjukkan meningkatnya kemampuan pemerintah daerah dalam pembiayaan pembangunan di daerahnya dan dengan demikian meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Dalam pelaksanaan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah daerah tingkat I, selama PJP I telah terjadi berbagai perkembangan. Sebelum PJP I, keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah daerah menyebabkan sangat terbatasnya kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Untuk meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah daerah tingkat I, 10 persen pajak ekspor hasil perkebunan diserahkan kepada pemerintah daerah dalam bentuk devisa yang dikenal dengan Alokasi Devisa Otomatis (ADO). Dalam Repelita II dan selanjutnya, sistem ADO diganti dengan sistem Sumbangan Pemerintah Pengganti ADO (SPPADO) yang alokasinya untuk tiap daerah tingkat I berdasarkan ADO, dan kemudian diganti dengan sistem Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat I (Inpres Dati I). Alokasi bantuan bagi daerah tingkat I tidak lagi didasarkan atas ekspor tetapi mulai didasarkan atas jumlah bantuan minimum yang terus ditingkatkan. Sejak tahun 1990/91 diadakan penyempurnaan dengan menambah faktor luas wilayah daratan sebagai tambahan kriteria alokasi. Perbaikan dalam kriteria pengalokasian bantuan ini dimaksudkan untuk lebih memeratakan pelaksanaan pembangunan daerah, dan mempercepat daerah-daerah yang terbelakang dalam mengejar ketertinggalan mereka dalam pembangunan.
Untuk daerah tingkat II dilaksanakan Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II (Inpres Dati II) sejak tahun 1970/71. Bantuan ini terutama ditujukan untuk meningkatkan kemampuan daerah tingkat II dalam membiayai kegiatan pembangunan yang merupakan lingkup tugasnya. Dalam Repelita V penggunaan Inpres Dati II diarahkan pula kepada kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah tersedia, terutama jalan dan jembatan, di samping untuk membangun jalan baru. Besarnya bantuan ini diberikan berdasarkan jumlah penduduk, dan bagi daerah tingkat II yang jumlah penduduknya berada di bawah suatu jumlah tertentu, nilai bantuan ditetapkan berdasarkan suatu jumlah tertentu.
Untuk desa dilaksanakan Bantuan Pembangunan Desa (Inpres Desa) yang diberikan secara merata bagi seluruh desa sejak Repelita I. Bantuan ini diberikan untuk menggerakkan masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam pembangunan melalui pembangunan prasarana dan sarana dasar, pembangunan prasarana dan sarana sosial, peningkatan kegiatan usaha masyarakat dan peranan wanita dalam pembangunan.
Selain Inpres Dati I, Inpres Dati II dan Inpres Desa, dalam PJP I telah pula dikembangkan berbagai bentuk bantuan lain seperti Inpres Peningkatan Jalan Propinsi, Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten, Inpres Pasar, Inpres SD, Inpres Penghijauan dan Reboisasi, dan Inpres Sarana Kesehatan. Perkembangan macam dan alokasi bantuan tersebut menunjukkan adanya peningkatan dan keinginan yang kuat dan konsisten dari pemerintah untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia, penciptaan lapangan kerja, pelestarian lingkungan hidup, pelaksanaan pembangunan di daerah, serta pemerataan pembangunan di seluruh daerah.
Ketersediaan berbagai bantuan pembangunan tersebut di atas juga telah menambah ketersediaan berbagai prasarana di daerah, seperti jalan kabupaten dan propinsi . Hasil pembangunan prasarana jalan tersebut menunjukkan makin baiknya keterhubungan antardaerah dan antarkawasan yang mampu mendorong pertumbuhan serta membuka keterisolasian.
Dalam menunjang pelaksanaan pembangunan daerah, telah diperkuat pula struktur kelembagaan dan mekanisme perencanaan pembangunan yang dimulai dari tingkat desa dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan musyawarah pembangunan desa, tingkat kecamatan dengan Temu Karya Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP), di daerah tingkat II Dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tingkat II sebagai unsur perencana serta Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat II (Rakorbang II), dan di daerah tingkat I dengan Bappeda tingkat I sebagai unsur perencana serta Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat I Rakorbang I). Dalam Rapat Konsultasi Pembangunan Nasional (Konas) hasil persiapan dan usulan pembangunan tersebut dirumuskan dan diajukan kepada pemerintah sebagai rencana pembangunan masing-masing daerah. Sejalan dengan pengembangan mekanisme pembangunan oleh pemerintah, dikembangkan pula unsur pelaksana pembangunan daerah yaitu dinas teknis.
Di samping itu, kemampuan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan makin baik dengan berkembangnya lembaga swadaya masyarakat, kelembagaan adat, lembaga dan bank perkreditan rakyat, koperasi, serta organisasi kemasyarakatan dalam bidang kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan. Melalui pelaksanaan program pembangunan daerah selama lima repelita yang berkesinambungan, telah meningkat pula kualitas dan kemampuan pengelolaan pembangunan daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa dalam memecahkan berbagai masalah yang ada di daerah masing-masing. Peningkatan kemampuan aparatur dan perangkat pemerintahan daerah telah membuka peluang untuk meningkatkan desentralisasi urusan-urusan pemerintahan beserta pelaksanaannya dalam mengisi otonomi daerah yang lebih mantap.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan daerah dan administrasi pemerintahan daerah, telah dilaksanakan penataan batas wilayah, pemindahan ibukota kabupaten, dan penyesuaian status daerah. Penyesuaian status daerah juga dilaksanakan antara lain dengan mengukuhkan 5 kota administratif menjadi kotamadya Dati II, membentuk 397 kecamatan baru, 41 kota administratif, 18 kabupaten baru, dan 1 propinsi baru, yaitu propinsi Timor Timur pada tahun 1976. Penataan desa dilakukan di beberapa propinsi, antara lain penggabungan desa di Propinsi Kalimantan Barat dari 4.685 desa menjadi 1.355 desa. Di Irian Jaya dilaksanakan pemekaran desa sekaligus pengukuhan desa-desa transmigrasi, dari 892 desa menjadi 2.195 desa.
Secara keseluruhan pada tahun keempat Repelita V terdapat 27 propinsi, 243 kabupaten, 58 kotamadya, 38 kota administratif, 3.837 kecamatan dan 63.920 desa/kelurahan.
Dalam pelaksanaan asas desentralisasi, telah diserahkan
kepada daerah sebagian dari urusan pemerintahan yang meliputi: pertanian
rakyat, perternakan, perikanan darat, pendidikan dan kebudayaan, kesehatan,
pekerjaan umum, perindustrian kecil, kehutanan, perikanan laut, karet rakyat,
bimbingan dan perbaikan sosial, perumahan rakyat, kesejahteraan buruh,
lalu lintas jalan, pemerintahan umum, perusahaan dan proyek negara, pertambangan
di luar undang-undang pertambangan, perkebunan besar, dan pariwisata, yang
pelaksanaannya bervariasi sesuai dengan kemampuan masing-masing daerah.
Urusan-urusan tersebut diselenggarakan oleh dinas-dinas daerah, baik di
tingkat I maupun tingkat II. Untuk menunjang keserasian perencanaan pembangunan,
pada tahun 1974 di daerah tingkat I di bentuk Bappeda tingkat I, dan mulai
tahun 1980 dibentuk Bappeda tingkat II. Pada akhir PJP I seluruh daerah
tingkat I dan II telah memiliki Bappeda. Di samping makin lengkapnya perangkat
penyelenggaraan pemerintah daerah, fungsi pemerintah daerah juga makin
meningkat dengan berfungsinya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I
dan II sesuai dengan UU No. 5/1974. Dengan demikian di bidang otonomi daerah,
pemerintah daerah memiliki hak dan kewajiban yang makin besar dan luas
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah yang
efektif dan efisien.
RENCANA PJP II DAN REPELITA VI PEMBANGUNAN DAERAH
Sasaran pembangunan daerah dalam PJP II sebagaimana diamanatkan dalam GBHN 1993 adalah mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, serta makin meratanya pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam mencapai sasaran umum pembangunan daerah dalam PJP II tersebut maka sasaran pembangunan daerah dalam Repelita VI adalah berkembangnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II; meningkatnya kemandirian dan kemampuan daerah dalam merencanakan dan mengelola pembangunan di daerah termasuk melaksanakan kegiatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana yang telah dibangun, seiring dengan meningkatnya kemampuan pemerintah daerah untuk menggali dan mengerahkan sumber-sumber keuangan daerah serta meningkatkan efisiensi pengeluaran; tercapainya sasaran pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah untuk lebih menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi antardaerah, antarkawasan, dan antara kota dan desa; makin terkoordinasinya pembangunan antarsektor dan antardaerah serta antara pembangunan sektoral dengan pembangunan daerah; meningkatnya dan makin selarasnya peranan daerah perkotaan dan perdesaan dalam pembangunan nasional dan daerah sehingga tercapai keseimbangan pertumbuhan antarwilayah; meningkatnya taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk makin berkurangnya jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal baik di perkotaan maupun di perdesaan; meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, khususnya masyarakat desa, dan masyarakat yang berada di daerah terpencil dan tertinggal; makin mantapnya lembaga perekonomian di daerah, mulai dari perdesaan; telah tersedianya rencana tata ruang yang efektif, operasional dan diketahui masyarakat luas bagi seluruh daerah, terutama daerah tingkat II; meningkatnya mutu lingkungan hidup, baik lingkungan fisik, sosial maupun ekonomi, yang mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan; berkembangnya budaya daerah seiring dengan perkembangan nilai-nilai budaya baru akibat kemajuan dalam masyarakat; dan berkembangnya pemanfaatan teknologi dalam pembangunan daerah.
GBHN 1993 mengamanatkan bahwa dalam Repelita VI pembangunan daerah diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah, antar dan antara kota dan desa, antarsektor, serta pembukaan percepatan pembangunan kawasan timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan Wawasan Nusantara. Peran aktif masyarakat dalam pembangunan perlu lebih dikembangkan melalui pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada daerah, khususnya daerah otonom. Pembangunan daerah bertujuan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu baik antarsektor maupun antara pembangunan sektoral dengan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok tanah air.
Kerja sama antardaerah dalam rangka pembangunan daerah dan pengembangan wilayah didorong dan ditingkatkan agar berbagai daerah dapat tumbuh secara serasi dan mampu memecahkan masalah yang terdapat di wilayah dan daerah secara bersama. Kemampuan daerah untuk melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan ditingkatkan melalui pendayagunaan sumber daya alam dan pembinaan sumber daya manusia yang terdapat di daerah bersangkutan secara berencana, terpadu dan dengan memperhatikan saling ketergantungan dengan daerah lain dalam rangka pembangunan nasional.
Dalam pelaksanaan pembangunan daerah, prakarsa dan peran aktif masyarakat beserta lembaga perencanaan daerah masih perlu lebih ditingkatkan, pengawasan dan koordinasi pembangunan perlu dimantapkan, serta fungsi lembaga perwakilan daerah perlu lebih didayagunakan sebagai perwujudan peningkatan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Kemampuan manajemen pembangunan seluruh aparatur pemerintah daerah perlu lebih ditingkatkan untuk lebih mendayagunakan potensi daerah serta untuk makin mewujudkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab.
Pembangunan desa dan masyarakat perdesaan terus didorong melalui peningkatan koordinasi dan peningkatan pembangunan sektoral, pengembangan kemampuan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam dan penumbuhan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat sehingga mempercepat peningkatan perkembangan desa swadaya dan desa swakarya menuju desa swasembada. Kemampuan masyarakat desa untuk berproduksi dan memasarkan hasil produksinya perlu didukung dan ditingkatkan melalui penataan kelembagaan dan perluasan serta diversifikasi usaha agar makin mampu mengarahkan dan memanfaatkan dana dan daya bagi peningkatan pendapatan dan taraf hidupnya. Pembangunan berbagai prasarana dan sarana perekonomian termasuk koperasi dan lembaga keuangan ditingkatkan agar mampu berperan serta makin meningkatkan swadaya masyarakat perdesaan dalam pembangunan.
Pembangunan perkotaan ditingkatkan dan diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana umum tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan usaha dan lingkungan kerja, serta kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial lainnya agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien dan tercipta lingkungan yang sehat, rapi, aman, dan nyaman. Perhatian khusus perlu diberikan pada peningkatan prasarana dan sarana umum yang layak. Keserasian hubungan antara masyarakat perkotaan dan perdesaan serta antarmasyarakat kota terus diupayakan agar terwujud keserasian kehidupan masyarakat dalam segala aspek kehidupannya.
Penataan kembali batas wilayah dan daerah dalam rangka penyesuaian status daerah tertentu perlu terus dilanjutkan untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan pembangunan daerah dan administrasi pemerintah daerah.
Pembangunan otonomi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk lebih mengembangkan dan memacu pembangunan daerah, memperluas peran serta masyarakat, serta lebih meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan memperhatikan kemungkinan pengembangan dan pemanfaatan potensi daerah dan secara saling mendukung dengan kemampuan nasional. Pelaksanaan otonomi daerah ditujukan pada perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab.
Pendapatan daerah ditingkatkan melalui penggalian
sumber dana asli daerah, antara lain pajak daerah, pungutan daerah, perusahaan
daerah, di samping bantuan pusat, pinjaman daerah dan investasi daerah
dengan jalan meningkatkan efisiensi pengumpulan dan penggunaannya yang
tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ISU PEMBANGUNAN DAERAH DALAM REPELITA VI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Sejak dari PJP I yang lalu maupun hingga pada akhir tahun Repelita VI ini, masalah kesenjangan masih merupakan masalah utama yang perlu ditanggulangi secara mendasar dan menyeluruh. Kesenjangan yang terjadi baik antarsektor, antardaerah, antargolongan, maupun antarkelompok pendapatan, menjadi masalah utama pembangunan nasional dalam Repelita VI ini yang berlandasan pada peranserta masyarakat.
Selain itu, permasalahan otonomi dan desentralisasi dalam pembangunan daerah juga masih merupakan masalah utama yang perlu terus diupayakan perwujudannya, sesuai dengan semangat untuk lebih mendesentralisasikan pembangunan kepada pemerintah daerah, dengan titik berat pada daerah tingkat II yang langsung terkait dengan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Oleh sebab itu, upaya untuk menanggulangi kedua permasalahan pokok tersebut diatas sangat perlu dilihat sebagai tugas pokok yang harus diwujudkan dalam Repelita VI ini. Dalam mengkaitkan upaya penyerasian pertumbuhan dan pemerataan dalam pembangunan nasional, serta sekaligus dalam semakin memperkuat desentralisasi dan otonomi daerah, beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan terutama terkait dengan berbagai kesenjangan yang masih terjadi dalam pembangunan antardaerah, pembagian sumber-sumber keuangan, dan kualitas sumberdaya manusia (aparatur) dan kelembagaannya.
Secara terinci, permasalahan kesenjangan yang dapat ditemukenali dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kesenjangan pembangunan antardaerah, terutama
antara KTI dan KBI.
2. Kesenjangan sumber pendapatan antardaerah.
3. Kesenjangan pembagian sumber-sumber pendapatan
antara pusat dengan daerah.
4. Kesenjangan antara pembangunan sektoral dengan
perencanaan pembangunan daerah.
5. Kesenjangan pembagian wewenang dan urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah dati I dan pemerintah dati II.
6. Kesenjangan kualitas aparatur antara pusat dan
daerah, serta antardaerah.
Secara umum, beberapa permasalahan di atas menunjukkan bahwa masih relatif tingginya tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat, atau masih rendahnya tingkat kemandirian daerah.
Dari beberapa permasalahan yang dikemukakan di atas, dalam kaitannya dengan aspek otonomi daerah, terdapat beberapa isu aktual yang perlu pula dipertimbangkan sebagai faktor pengaruh sebagai berikut:
1. Peletakan titik berat otonomi pada daerah
tingkat II, sesuai dengan pasal 11 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1974.
2. Kenyataan terjadinya otonomi semu (pseudo-autonomy),
dengan adanya kerancuan dalam penyerahan dan pembagian urusan dan wewenang
pemerintahan kepada dati I dan dati II oleh pusat.
3. Masih relatif rendahnya korelasi antara sumber-sumber
penerimaan daerah yang dapat digali dengan kemampuan keuangan daerah,
dimana masih relatif rendahnya porsi sumber penerimaan daerah yang dapat
diserap daerah sebagai sumber PADS (pendapatan asli daerah sendiri).
4. Masih relatif rendahnya kualitas dan kemampuan
aparat pemerintah daerah, dan masih adanya kerancuan dalam sistem kelembagaan
pemerintah daerah, yang antara lain ditunjukkan dengan masih rancunya sistem
perjenjangan aparatur pemerintah daerah.
Upaya Penanggulangan Masalah Kesenjangan
Dalam rangka pembahasan terhadap beberapa permasalahan yang dihadapi dalam rangka penyerasian pertumbuhan dan pemerataan dalam pembangunan nasional, beberapa isu perwujudan otonomi daerah akan dijadikan faktor-faktor pengaruh dalam upaya untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai permasalahan kesenjangan yang telah ditemukenali di atas.
1. Kesenjangan Pembangunan Antardaerah
Kesenjangan pembangunan antardaerah dapat disebabkan antara lain oleh tidak meratanya (beragamnya) pemilikan sumber daya antardaerah, yang tidak hanya terkait dengan kekayaan sumber daya alam melainkan juga ketersediaan dan kualitas sumber daya manusianya. Di pihak lain, bahwa pada umumnya daerah yang kaya sumber daya alam, seperti wilayah KTI, masih relatif tertinggal dan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pusat, yang dicerminkan dengan tingginya pangsa bantuan dan subsidi pusat di dalam struktur APBD masing-masing daerah. Kondisi ini dapat dikatakan ironis, mengingat bahwa daerah-daerah tersebut pada umumnya kaya dengan sumber daya alam (seperti Irian Jaya dan Kalimantan Timur) namun tidak mendapatkan alokasi yang sepadan (proporsional) dengan potensi kekayaan alamnya.
Namun demikian, sistem keuangan negara (pasal 23 UUD 1945) dan sistem demokrasi ekonomi (pasal 33 UUD 1945) kita telah menetapkan bahwa kekayaan alam dimiliki oleh negara (fungsi produksi) dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (fungsi distribusi/pemerataan). Untuk itu, tidak dimungkinkan terjadinya eksploitasi sumber daya alam yang hanya dipergunakan oleh daerah yang bersangkutan, namun dimanfaatkan oleh pusat untuk selanjutnya didistribusikan secara merata kepada seluruh daerah. Bagaimanapun perlu diperhatikan, bahwa dalam suatu negara kesatuan fungsi realokasi dan redistribusi akan sangat menentukan terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan antardaerah.
Namun demikian, dalam rangka menciptakan keserasian
pembangunan antardaerah, sangat perlu dilakukan "pemihakan" kepada daerah-daerah
yang relatif tertinggal melalui pemberian berbagai kemudahan/insentif
berupa urusan dan wewenang yang lebih besar kepada daerah-daerah tersebut
untuk dapat lebih cepat memacu laju pembangunannya. Untuk itu, seperti
khususnya bagi KTI, telah diupayakan berbagai kebijaksanaan dalam rangka
mempercepat pembangunan KTI, seperti dengan pembentukan Dewan Pengembangan
KTI (Keppres 120 Tahun 1993) dan terbitnya berbagai Keppres dan Inpres
mengenai pemberian insentif pembangunan di kawasan tersebut.
2. Kesenjangan Sumber Pendapatan Antardaerah
Sejalan dengan uraian di atas, bahwa kesenjangan sumber pendapatan antardaerah juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, dalam menjaga eksistensi sebagai negara persatuan dan sekaligus untuk lebih memeratakan pembangunan, peran pemerintah pusat sangat menentukan di dalam upaya merealokasi dan meredistribusi kesejahteraan (pembangunan) antardaerah.
Perlu pula dipertimbangkan disini bahwa sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki daerah, baik yang bersumber dari kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia (jasa), ternyata tidak memiliki korealsi yang positif dengan kemampuan keuangan daerah, khususnya dalam kaitannya dengan pendapatan asli daerah (PADS). Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa terdapat keragaman kemampuan keuangan antardaerah, yang dinilai dari tinggi-rendahnya pangsa PADS dalam struktur APBD, serta tinggi-rendahnya rasio bantuan dan subsidi pusat terhadap APBD. Pada sebagian besar daerah, masih ditemui kenyataan relatif tingginya tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan dan subsidi pusat, atau masih relatif belum mandirinya pembiayaan pembangunan daerah. Data keuangan daerah secara nasional menunjukkan bahwa pangsa PADS terhadap APBD tingkat I secara rata-rata nasional hanya mencapai 21%, sedangkan di dati II pangsa PADSnya hanya mencapai 18% dalam struktur penerimaan APBD II.
Upaya penguatan kemampuan keuangan daerah tersebut sebenarnya telah dilakukan Pusat melalui pemberian alokasi bantuan pembangunan daerah melalui program Inpres, sesuai dengan Inpres No. 6 Tahun 1984, yang pada prinsipnya mengalokasikan dana bantuan pembangunan kepada daerah secara desentralisasi untuk dapat memperkuat struktur pembiayaan pembangunan daerah (APBD) yang pengelolaan dan pemanfaatannya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu, telah pula diperkenalkan suatu mekanisme pinjaman pembangunan daerah melalui RPD (rekening pembangunan daerah) yang pemanfaatannya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas daerah dalam penyediaan pelayanan kepada masyarakat, yang diwujudkan dalam bentuk prasarana dan sarana sosial ekonomi yang dibutuhkan oleh daerah, seperti pelayanan air minum (PDAM). Dalam implementasinya, selama ini RPD tidak hanya dialokasikan melalui pembiayaan pusat (APBN) namun juga dikaitkan dengan pinjaman luar negeri melalui SLA (subsidiary loan agreement) yang dialokasikan dalam bentuk pinjaman kepada daerah.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan pangsa
PADS sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah tersebut, diperlukan
komitmen pemerintah pusat untuk dapat memberikan peluang yang lebih
besar kepada daerah untuk menggali (intensifikasi) dan memperluas (ekstensifikasi)
sumber-sumber pendapatannya, yang bersumber dari pajak dan retribusi
daerah. Kendala yang dihadapi selama ini adalah belum terwujudnya perimbangan
sumber penerimaan antara pusat dan daerah, yang selama ini masih relatif
terpusat dan belum terdesentralisasi secara lebih merata dan proporsional
kepada pemerintah daerah, sehingga dapat dimaklumi apabila kemampuan keuangan
daerah masih tetap rendah dan sekaligus berdampak terhadap rendahnya kemandirian
daerah di dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
3. Kesenjangan Sumber Penerimaan antara Pusat dan Daerah
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan keuangan daerah dan masih tingginya tingkat ketergantunagn keuangan daerah terhadap bantuan dan subsidi pusat, terutama disebabkan oleh masih belum optimalnya pembagian sumber-sumber penerimaan antara pusat dengan daerah. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan masih besarnya pajak dan retribusi daerah yang ditarik ke pusat atau ke dati I, sehingga pada dati II yang merupakan tingkat pemerintahan yang langsung melayani masyarakat, tidak memiliki wewenang yang memadai di dalam mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan tersebut dalam rangka memperkuar kemampuan pembiayaan pembangunan dan urusan pemerintahan di daerahnya masing-masing.
Sejalan dengan itu, masalah belum optimal, merata
dan terdesentralisasinya pembagian sumber-sumber keuangan antara pusat
dan daerah tersebut dapat dimaklumi, mengingat bahwa dasar hukum yang
melandasi perimbangan keuangan pusat dan daerah tersebut belum ada, dan
masih menggunakan peraturan perundangan yang sudah sangat perlu untuk
diperbaharui dan disesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan dewasa ini,
yaitu UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
UU Darurat No. 11 Tahun 1957 tentang Pajak Daerah dan UU Drt. No. 12 Tahun
1957 tentang Retribusi Daerah.
4. Kesenjangan antara Pembangunan Sektoral dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
Masalah ini muncul akibat belum adanya keterpaduan dan keserasian antara pembangunan sektoral yang direncanakan pusat yang relatif bersifat ‘top-down’ dengan perencanaan pembangunan daerah yang bersifat ‘bottom-up’. Sebenarnya melalui mekanisme perencanaan tahunan yang diselenggarakan melalui forum-forum perencanaan yang bersifat berjenjang, dari sejak tingkat desa hingga pada tingkat nasional, telah diupayakan penterpaduan dan penyerasian berbagai kepentingan antara pusat dan daerah. Namun demikian, mekanisme perencanaan tahunan yang diatur dalam Permendagri No. 9 Tahun 1982 tentang P5D (Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah) tersebut masih belum secara berhasilguna diimplementasikan utnuk dapat mempertemukan antara pendekatan perencanaan pembangunan yang bersifat sektoral (top down) dengan pendekatan yang bersifat regional (bottom up). kenyataan yang selama terjadi masih menunjukkan dominasi sektoral dalam pembangunan daerah (top down > bottom up).
Dikaitkan dengan masih belum efektifnya pelaksanaan
P5D sebagai upaya sinkronisasi top down dan bottom up
tersebut, sebenarnya dapat dimaklumi, mengingat masih relatif tingginya
tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. Untuk itu, diperlukan
pendekatan yang lebih luas yang ditujukan untuk semakin meningkatkan kemandirian
daerah dalam pembiayaan pembangunannya, yang dapat dilakukan melalui
berbagai kebijaksanaan seperti perimbangan keuangan pusat dan daerah, penguatan
kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah, dan desentralisasi urusan dan
wewenang dari pusat kepada daerah dalam rangka mendukung otonomi daerah.
Salah satu upaya untuk lebih mendesentralisasikan urusan dan wewenang pembangunan
dapat diwujudkan dalam bentuk desentralisasi proyek-proyek pembangunan
kepada daerah, yang antara lain dapat diupayakan melalui ‘switching’
dari pola DIP menjadi pola Inpres ‘block grant’ yang selanjutnya dituangkan
dalam bentuk DIPDA, yang pengelolaannya, baik secara sektoral maupun
regional, sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan.
5. Kesenjangan Wewenang dan Urusan Pemerintahan antara Dati I dengan Dati II
Berdasarkan UUD 1945 pasal 18 kedudukan dan status daerah tingkat I dan daerah tingkat I hanya dinyatakan sebagai daerah otonom, tanpa adanya pembedaan bobot otonomi. Selanjutnya berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 (pasal 11 ayat 2), telah ditetapkan pula bahwa perlu diberikan penekanan (titik berat) pelaksanaan otonomi pada dati II, yang selanjutnya lebih dipertegas lagi ke dalam PP No. 45 Tahun 1992 tentang Peletakan Titik Berat Otonomi pada Dati II, yang pada prinsipnya menegaskan perlunya titik berat otonomi pada dati II dengan latar belakang bahwa ujung tombak pelayanan masyarakat adalah pada dati II.
Pemberian titik berat tersebut selanjutnya juga telah dipertegas dengan pelaksanaan uji coba otonomi daerah pada 26 dati II percontohan melalui PP No. 8 Tahun 1995, yang akan dilaksanakan dalam dua tahun anggaran sampai pada akhir TA 1996/97 ini.
Walaupun telah diterbitkan beberapa dasar peraturan
perundangan yang mengarah kepada otonomi pada dati II, pada kenyataannya
masih ditemui belum meratanya pembagian urusan dan wewenang pemerintahan
dan pembangunan yang diserahkan kepada daerah, khususnya dati II. Sampai
saat pencanangan "Hari Otonomi Daerah" pada tanggal 25 April 1995 lalu,
dari 19 urusan yang telah diserahkan pusat kepada dati I, baru 6 urusan
yang benar-benar telah diserahkan kepada dati II. Dengan demikian, terlihat
masih adanya kesenjangan urusan dan kewenangan yang telah diserahkan pusat
kepada daerah, yaitu antara dati I dan dati II. Melalui pelaksanaan PP
No. 8 Tahun 1995, pada 26 dati II percontohan telah diupayakan penyerahan
urusan dan wewenang pemerintahan dan pembangunan secara lebih terdesentralisasi
kepada dati II percontohan otonomi daerah. Implikasi dari pelaksanaan uji
coba otonomi daerah tersebut setidaknya akan mencakup 3 hal pokok, yang
dikenal dengan penyerahan urusan dan wewenang 3P: (i) Pembiayaan,
(ii) Personil (aparatur), dan (iii) Perangkat (kelembagaan).
Diharapkan uji coba otonomi daerah ini akan dapat direplikasi dan diperluas
pelaksanaannya pada seluruh dati II, dengan memperhatikan tingkat dan kemampuan
daerah dalam melaksanakan otonomi yang nyata, serasi, dinamis dan bertanggung
jawab.
6. Kesenjangan Kualitas Aparatur antara Pusat dan Daerah serta Antardaerah
Salah satu kendala belum penuhnya komitmen pusat untuk mendukung percepatan perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, adalah persepsi pusat tentang belum kuat dan mampunya aparatur pemerintah daerah dalam menyongsong era otonomi. Ketersediaan dan kualitas sumber daya aparatur di tingkat daerah pada umumnya selalu menjadi kendala dan keraguan pemerintah Pusat di dalam upaya untuk menyerahkan urusan dan wewenang pemerintahan dan pembangunan kepada pemerintah daerah. Selain itu, masih belum mantapnya sistem kelembagaan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang kepegawaian, juga menciptakan keraguan dan ketidakpercayaan pusat kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan berbagai urusan dan wewenang yang diserahkan kepada daerah.
Kualitas sumber daya aparatur merupakan faktor utama yang perlu ditingkatkan dan disempurnakan sistem kelembagaannya, dalam rangka mengantisipasi penyerahan urusan dan wewenang pemerintahan dan pembangunan yang lebih besar kepada daerah. Untuk itu, sebenarnya telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas aparatur dan kelembagaan pemerintah daerah, khususnya aparat dan lembaga perencanaan yang ada di daerah (Bappeda), antara lain melalui berbagai kegiatan diklat baik yang berupa diklat fungsional maupun diklat perjenjangan (struktural). Berberapa kegiatan diklat yang telah dilaksanakan kepada aparat pemerintah daerah antara lain adalah TMPP, PPD dan PPN (bagi aparat perencana daerah), serta KKD dan RETIKATPATDA (bagi aparat keuangan daerah). Selain itu banyak pula dilakukan kegiatan diklat yang telah diberikan kepada aparat pemda yang terkait dengan berbagai proyek-proyek sektoral, baik yang dibiayai APBN maupun BLN, seperti bagi aparat dinas pertanian, dinas PU, dan dinas-dinas teknis lainnya di dati I dan dati II.
Namun demikian, masih ditemui beberapa kendala yang dipengaruhi oleh belum mantapnya sistem kelembagaan pemerintah daerah, seperti tidak adanya jaminan bahwa aparat yang telah dilatih akan terus ditempatkan pada instansi/dinas yang bersangkutan. Hal ini sering ditemui pada aparat Bappeda yang cukup tinggi mobilitas penempatannya secara lintaslembaga/dinas.
Hal lain yang memerlukan perhatian dalam rangka permasalahan di atas, adalah upaya penterpaduan dan sinkronisasi serta pemerataan dari berbagai kegiatan diklat sumber daya aparatur pemerintah daerah, sehingga tidak terjadi kesenjangan kualitas aparatur pemda yang tersebar, khususnya antara instansi perencana seperti Bappeda dengan dengan yang ada di dinas-dinas teknis lainnya.