PENDAHULUAN
Dua daerah yang saling berbatasan pada umumnya mempunyai kecenderungan untuk saling bersaing atau untuk saling membantu atau saling mendukung. Hal tersebut biasanya tergantung dari keadaan serta kepentingan masing-masing. Ada kalanya dalam rangka memenuhi kepentingan masing-masing, yang terjadi justru persaingan dan bukan kerjasama.
Bila persaingan yang menonjol, akibatnya justru akan merugikan salah satu atau mungkin juga kedua belah pihak. Sedangkan bila kedua belah pihak mau bekerjasama, maka akan diperoleh hasil yang lebih banyak daripada saling bersaing. Dalam bekerjasama dapat diterapkan prinsip comparative advantage (keunggulan bandingan); yaitu siapa yang lebih efisien maka dialah yang sebaiknya menangani, sehingga hasilnya dapat dipertukarkan dengan produk yang dihasilkan oleh pihak lain yang dapat melaksanakan secara lebih efisien. Dengan demikian sumber-sumber yang ada dapat dimanfaatkan secara lebih terarah.
Dalam rangka memanfaatkan sumberdaya dari dua daerah atau dua propinsi yang mempunyai kepentingan yang sama, sebaiknya dengan cara bekerjasama agar dapat menerapkan keunggulan komparatif untuk menarik investasi di masing-masing bidang secara lebih efisien.
Bappenas dalam hal ini berkepentingan
untuk melihat koordinasi dan kerjasama yang dilakukan antara dua daerah
yang berbatasan dalam mengupayakan efektifitas perencanaan pembangunan
daerah yang dilakukan secara terpadu dan lintas-sektoral, dengan mempertimbangkan
permasalahan dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, dalam
rangka memperoleh manfaat bersama dan sekaligus dalam mengurangi kesenjangan
pembangunan antar daerah.
MASALAH PENINGKATAN KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA
Pembangunan membutuhkan banyak tenaga kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan merupakan manusia-manusia yang memiliki kemampuan bermacam-macam, baik dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan. Dalam perencanaan yang baik diperlukan data dan informasi yang lengkap. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya data itu tersebar dimana-mana, akan tetapi memilih yang paling penting diantara yang penting adalah merupakan masalah dan membutuhkan kejelian. Mendapatkan data yang tepat akan membantu kita untuk membuat perencanaan yang baik. Rencana yang baik berarti dapat diimplementasikan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya perlu adanya pemantauan serta pengawasan untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang dari rencana dan bukan untuk mencari-cari kesalahan.
Apabila kita soroti sekarang kerjasama dalam rangka pembangunan daerah perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, mengingat kedua daerah ini mempunyai wilayah-wilayah yang langsung berbatasan satu sama lain, maka sudah barang tentu ada hal-hal yang menjadi masalah bersama yang dapat dipecahkan secara bersama pula. Kita lihat bahwa Propinsi DI Yogyakarta, khususnya Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul, tidak berbatasan dengan seluruh Dati II di Propinsi Jawa Tengah, namun hanya dengan beberapa Dati II sebagai berikut: Wonogiri, Sukohardjo, Klaten, Magelang dan Purworejo.
Bila kita lihat dari sudut kepentingan bersama, kedua daerah ini mempunyai kepentingan dalam pengembangan kegiatan pariwisata. Seperti dalam waktu-waktu yang lampau, daerah alur wisatawan mancanegara maupun domestik relatif terkonsentrasi di DI Yogyakarta, dan baru dari Yogyakarta mengalir ke beberapa Dati II di Propinsi Jawa Tengah, seperti Kodya Surakarta dan Kabupaten Klaten dan Magelang. Para wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara, biasanya mempunyai tujuan ganda dalam mengunjungi obyek-obyek wisata; yaitu sambil ingin melihat Kraton Yogyakarta, mereka juga ingin melihat obyek wisata lainnya yang terletak disekitarnya. Dengan demikian, rencana perjalanan mereka adalah memilih pusat atau pangkal operasinya itu di Kodya Yogyakarta, dan dari sana baru menuju ke obyek-obyek wisata yang terletak disekitar Yogyakarta.
Untuk lebih menarik para wisatawan, suasana dan kualitas pelayanan dari masing-masing obyek wisata harus dibuat lebih baik dan menarik. Pelayanan terhadap para wisatawan juga harus ditingkatkan, baik dalam bidang akomodasi, transportasi, maupun bidang jasa pelayanan lainnya. Dilihat dari sudut pelayanan jasa saja, dituntut suatu kemampuan yang lebih dari para tenaga kerja yang berkecimpung dalam bidang kepariwisataan ini. Karena mereka sering berhubungan langsung dengan para wisatawan mancanegara, maka dibutuhkan penguasaan bahasa asing serta informasi kebudayaan yang mencukupi, sehingga dapat memuaskan dalam memberikan jasa pelayanan dan informasi kepada para wisatawan yang berkunjung.
Dalam kaitannya dengan perlunya peningkatan jasa pelayanan terhadap para wisatawan di atas, kita telah membicarakan perlunya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam mendukung bidang kepariwisataan. Dalam membicarakan kualitas sumberdaya manusia, kita menyadari bahwa memang ada kualitas dalam bidang yang lain, seperti kualitas kesejahteraan yang kita kaitkan dengan tingkat kesehatan yang semakin baik, angka kematian bayi yang semakin menurun, usia harapan hidup yang semakin panjang, tingkat buta aksara yang semakin berkurang, tingkat kecerdasan yang meningkat, dan lain sebagainya.
Bila kita masih menganggap bahwa kualitas pelayanan dalam bidang kepariwisataan itu masih relatif kurang mendukung, bagaimana upaya kita sekarang untuk mengisi kekurangan tersebut. Bila kualitas pelayanan itu hanya menyangkut kualitas sumberdaya manusia, dapatlah diatasi dengan berbagai forum pendidikan dan pelatihan. Dalam hal ini boleh dikatakan bahwa terdapat peluang untuk meningkatkan kemampuan dalam pelayanan jasa kepariwisataan; dimulai dari membuat rencana pelayanan jasa pariwisata, rencana perjalanan dan pengurusannya, rencana penyediaan akomodasi yang baik dan memuaskan, penyediaan pemandu-pemandu yang baik, dan sebagainya. Hal-hal tersebut di atas membutuhkan tenaga kerja yang berkualitas, agar dapat lebih menarik para wisatawan untuk berkunjung dan memperpanjang waktu berkunjungnya ('length of stay'). Para wisatawan yang mendapatkan pelayanan dan pengalaman yang memuaskan di suatu obyek wisata, tentunya akan menceritakan pengalamannya kepada rekan-rekannya, sehingga kemungkinan besar akan menarik rekan-rekannya untuk berkunjung ke daerah/obyek wisata yang telah mereka kunjungi. Para wisatawan tersebut secara tidak langsung sebenarnya melakukan promosi dan pemasaran dalam bidang pariwisata. Dengan demikian kualitas pelayanan dari para sumberdaya manusia yang berkecimpung dalam bidang kepariwisataan ini, akan sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan kepariwisataan secara keseluruhan.
Uraian di atas setidaknya menunjukkan bahwa pengembangan kualitas sumberdaya manusia akan sangat mempengaruhi peningkatan kualitas pelayanan terhadap pengembangan salah satu bidang pembangunan, yaitu kepariwisataan. Dalam rangka mengupayakan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia tersebut di atas, perlu dicari upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh kedua daerah yang akan bekerjasama dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi bersama untuk mencapai manfaat bersama. Hal inilah yang perlu kita fikirkan bersama.
Khususnya bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan program kerjasama antara dua daerah yang berbatasan, sebenarnya telah banyak program/proyek yang telah mendukung kerjasama antar wilayah dalam pengembangan sumberdaya manusia tersebut; baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta pada wilayah-wilayah yang berada di daerah-daerah yang berbatasan.
Peranan pemerintah dalam memajukan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di daerah-daerah yang berbatasan yang pernah dirasakan masih relatif kurang diperhatikan, dalam tiga tahun terakhir ini telah mulai dipertimbangkan sebagai suatu wilayah yang memiliki tingkat urgensitas yang tinggi untuk dikembangkan. Melalui Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), yang salah satu sasaran lokasinya adalah daerah-daerah yang terletak di perbatasan, Pemerintah Pusat telah memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya yang letaknya relatif berdekatan dengan kota pusat pertumbuhan (ibukota) di suatu Propinsi.
Dalam Program PKT, salah satu program kegiatan yang diprioritaskan adalah Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM). Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Program PKT pada dasarnya diarahkan bagi tiga hal pokok yakni:
Khususnya bagi delapan Dati II di Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang letaknya berbatasan satu sama lain, sebenarnya melalui Program PKT yang telah, sedang dan akan dilaksanakan, seluruh Dati II tersebut telah memperoleh kesempatan untuk melaksanakannya. Lebih dari itu, Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo dan Wonogiri ternyata selama ini telah tanggap dengan urgensitas pengembangan wilayah-wilayah kecamatan yang letaknya di perbatasan antara Jawa Tengah dan DIY; yakni dengan terpilihnya kecamatan-kecamatan yang memperoleh alokasi PKT sebagai berikut: (i) Kab. Gunung Kidul (Kec.Rongkop, TA 90/91), (ii) Kab. Kulon Progo (Kec.Kokap, TA 91/92), (iii) Kab. Wonogiri (Kec.Giritontro, TA 90/91 dan Kec.Manyaran, TA 92/93). Sayangnya, perencanaan usulan yang diajukan oleh masing-masing kabupaten sifatnya masih 'local-centris', atau belum mempertimbangkan permasalahan kawasan yang sebenarnya memiliki kesamaan dan dapat ditanggulangi secara terpadu oleh dua daerah yang saling bersebelahan tersebut.
Selanjutnya dalam rangka menjamin
suatu penanganan yang terpadu terhadap permasalahan dalam lingkup kawasan
antara kedelapan Dati II tersebut, maka sebaiknya dalam rangka mengantisipasi
pengajuan usulan Program PKT pada TA yang akan datang, maka Rapat Koordinasi
Pembangunan Daerah Perbatasan Jawa Tengah-DIY ini diharapkan dapat memberikan
justifikasi terhadap kecamatan-kecamatan yang letaknya saling berdampingan
untuk secara bersama-sama mendapatkan alokasi program PKT pada TA yang
bersamaan, sehingga dapat diperoleh efektifitas pelaksanaan program dan
sekaligus dapat mengurangi kesenjangan pembangunan yang pernah ada di antara
kedua atau lebih wilayah kecamatan yang bersebelahan letaknya.
MASALAH PELUANG INVESTASI
Investasi dapat kita bedakan antara investasi pemerintah dan investasi swasta. Pada umumnya Pemerintah menangani investasi yang dibutuhkan oleh publik (masyarakat/sosial), baik yang berupa infrastruktur fisik maupun yang non-fisik. Pihak swasta biasanya tidak tertarik pada investasi yang berbentuk infrastruktur umum, karena sifatnya yang relatif tidak memberikan keuntungan. Namun pada beberapa jenis infrastruktur umum yang sifatnya 'cost recovery investment'/'profitable investment', pihak swasta sudah mulai tertarik untuk terlibat dan pembangunan maupun pengelolaannya; seperti pada pembangunan prasarana air minum di daerah perkotaan dan dalam pembangunan jalan toll.
Khususnya dalam pembangunan jalan toll, hal ini dapat kita hubungkan dengan pembangunan jalan toll antara Yogyakarta dan Surakarta. Barangkali ada pihak swasta yang tertarik dalam pembangunan jalan toll ini; meskipun pembangunan jalan toll pada koridor daerah yang sudah relatif terbangun tersebut memberikan konsekuensi dan resiko perlunya pembebasan lahan produktif yang berada di sepanjang koridor Yogya-Solo tersebut yang nilainya sudah sangat tinggi, namun merupakan suatu prasyarat yang tidak dapat dihindari. Biaya investasi yang tinggi dan jangka waktu pengembalian modal ('payback-period') yang lambat biasanya merupakan kendala bagi pihak investor swasta untuk terlibat dalam pengembangan infrastruktur umum. Dalam hal ini pihak Pemerintah, dengan segala keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, biasanya hanya mengharapkan perolehan bantuan atau pinjaman dari pihak donor luar negeri atau dari pihak swasta (domestik maupun asing) untuk dapat menjadi mitra pemerintah dalam pembangunan suatu prasarana fisik yang biayanya relatif besar tersebut.
Dalam hal perkembangan investasi pariwisata di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya perlu ditangani secara terpadu oleh kedua propinsi, khususnya dalam memberikan kesempatan yang sama bagi kedua belah pihak untuk memperoleh keuntungan dari bidang kepariwisataan ini; sehingga diharapkan dapat diciptakan 'tourist generator' baru di Jawa Tengah yang selama ini masih relatif terkonsentrasi di Yogyakarta.
Perkembangan pariwisata ke arah Jawa Tengah sebenarnya dapat dianggap sebagai peluang bagi para investor yang ingin melakukan investasi dalam bidang perhotelan dan akomodasi serta perjalanan wisata. Namun hal ini bisa kita lihat dari sudut pandangan, apakah ada kecenderungan bahwa para wisatawan tersebut untuk menginap atau tidak pada suatu lokasi obyek wisata. Karena bila tidak ada keharusan untuk menginap, mengingat tingkat aksesibilitas lokasi obyek wisata yang sudah relatif tinggi dari 'tourist generator'nya, maka pembangunan prasarana perhotelan (akomodasi) di lokasi tersebut akan menemui kesulitan dalam pengusahaannya di kemudian hari. Untuk itu kita perlu pikirkan lebih jauh untuk menciptakan suatu suasana dan acara yang dapat menarik ('tourist attractor') para wisatawan untuk tinggal lebih lama di lokasi obyek wisata yang dikunjunginya.
Dalam dunia pariwisata kita mengenal berbagai kegiatan yaitu wisata alam, wisata budaya, wisata bahari, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikembangkan agar para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama di suatu lokasi obyek wisata, karena mereka memberikan penilaian yang tinggi terhadap obyek wisata tersebut. Seperti para wisatawan mancanegara yang mengunjungi Desa Ubud di Bali, adalah mereka yang ingin menikmati keadaan alam yang tenang dan alami, yang mungkin kurang menarik bagi kita sekalian. Juga seperti kasus di Yogyakarta, dimana para wisatawan mancanegara tersebut lebih menyukai untuk menginap di 'homestay' yang sederhana, dibandingkan dengan di hotel-hotel berbintang yang sudah bukan merupakan barang yang asing lagi bagi mereka. Kecenderungan untuk 'back to the nature' bagi para wisatawan, khususnya yang berasal dari mancanegara tersebut, sebenarnya perlu diantisipasi oleh para investor di bidang perhotelan untuk dapat menyediakan pelayanan yang sifatnya 'traditional/nature-based services' kepada para wisatawan mancanegara tersebut.
Apa yang telah kita bicarakan di atas adalah beberapa peluang investasi dalam bidang kepariwisataan yang dapat ditangani oleh pihak swasta. Di samping itu ada pula investasi-investasi yang harus dilakukan oleh pemerintah. Apabila kita lihat dari kepentingannya yang menyangkut masyarakat luas, seringkali kurang menarik bagi para investor swasta sehingga Pemerintah dalam hal ini harus turun tangan. Contoh yang jelas adalah dalam hal pembangunan infrastruktur sosial yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, yang sepenuhnya merupakan porsi investasi Pemerintah.
Selanjutnya berkenaan dengan pengembangan sektor perindustrian di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, kita ketahui bersama bahwa Jawa Tengah telah menetapkan kawasan-kawasan industri yang tersebar pada beberapa kabupaten di Jawa Tengah; yang antara lain berbatasan dengan Propinsi DIY, seperti Sukoharjo dan Klaten yang masuk ke dalam WP dan Kawasan Industri wilayah Surakarta. Selain itu letak Propinsi DI Yogyakarta yang dilewati oleh jalur utama Jawa Tengah bagian selatan, turut memperoleh dampak akibat intensifnya lalu lintas produk dan bahan baku industri antar kawasan industri di Jawa Tengah, khususnya antara Cilacap dan Surakarta.
Dalam rangka mengantisipasi akan timbulnya suatu koridor padat industri yang baru di Jawa Tengah, jaringan jalan antara Yogya dan Surakarta yang direncanakan akan ditingkatkan menjadi jalan toll sebenarnya perlu direncanakan penataan ruang kawasannya secara lebih cermat, mengingat pada saat ini kawasan tersebut masih merupakan lahan produktif yang dijadikan salah satu lumbung padi serta sentra produksi pangan di Jawa Tengah. Secara dini penyusunan rencana detil tata ruang koridor Yogya-Solo, sebenarnya dapat ditelusuri melalui pengkajian terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten (RUTRK) yang telah disusun oleh masing-masing Kabupaten Dati II yang terletak di sepanjang koridor tersebut.
Pengkajian terhadap RUTRK maupun RSTRP yang telah disusun akan sangat membantu kita dalam merencanakan suatu kawasan pengembangan menurut sektornya masing-masing. Perlu kita ketahui bersama bahwa suatu rencana tata ruang adalah merupakan salah satu instrumen bagi penentuan arahan investasi bagi pembangunan sektoral di suatu daerah, dengan mempertimbangkan permasalahan dan potensi daerah yang spesifik sifatnya, serta penetapan kawasan yang dapat diusahakan (kawasan budidaya) dan yang tidak boleh dibudidayakan (kawasan lindung) serta kawasan-kawasan strategis yang diprioritaskan untuk dikembangkan. Oleh sebab itu pencermatan terhadap RTR di tingkat I dan masing-masing tingkat II sangat diperlukan dalam menentukan arahan alokasi ruang pembangunan bagi investasi kegiatan-kegiatan sektoral yang akan dilaksanakan di suatu daerah.
Masih terkait dengan arahan investasi, yang dapat berupa penentuan kawasan strategis dan kawasan prioritas yang direkomendasikan oleh setiap produk RSTRP maupun RUTRK, telah ditetapkan pula kawasan-kawasan lindung yang tidak boleh diusahakan ('uninvestable area'). Dalam hubungannya dengan kawasan-kawasan lindung yang telah ditetapkan, masalah kelestarian dan peningkatan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan aspek yang sangat dipentingkan; atau dengan kata lain perlu diciptakan suatu 'trade-off' yang tegas antara kegiatan pembangunan (investasi) sektoral dengan kegiatan perlindungan SDA dan lingkungan hidup.
Dalam kaitannya dengan sektor sumberdaya
alam dan lingkungan hidup yang mengangkut kedua propinsi, Jawa Tengah dan
DIY, perlu kita soroti kinerja dari DAS dan WAS Progo yang kita ketahui
bersama bahwa sumber airnya berasal dari daerah pegunungan di sekitar Wonosobo
di Jawa Tengah, namun bermuara di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo
di DI Yogyakarta; yang menurut keterangan merupakan salah satu daerah rawan
dan potensial banjir di DIY, selain Kabupaten Bantul dengan Kali Opak dan
Oyanya yang secara rutin "memberikan" bencana banjir kepada beberapa kecamatan
di Kabupaten Bantul.
Penyusunan rencana tata ruang di
sepanjang DAS dan WAS Progo, Opak dan Oyo perlu dilakukan dalam hal ini,
yang sudah barang tentu membutuhkan komitmen bersama antara kedua propinsi
yang berkepentingan dengan fungsi hidro-orologis dari ketiga sunagi tersebut.
Rencana tata ruang DAS dan WAS sungai-sungai tersebut diharapkan dapat
menjadi solusi dan penanggulangan bersama permasalahan SDA dan lingkungan
hidup antara Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, yang kemungkinan dapat menghasilkan
beberapa alternatif penanggulangannya. Pengalaman penanganan DAS Bengawan
Solo dan Brantas secara terpadu melalui kerjasama antara Jawa Tengah dan
Jawa Timur agaknya dapat dijadikan contoh penanggulangan terpadu bagi DAS
dan WAS yang bermuara di Propinsi DI Yogyakarta.
Selain dari arahan kawasan lindung, budidaya, dan strategis, sebenarnya setiap produk rencana tata ruang yang disebutkan di atas juga memberikan alternatif rekomendasi bagi pengembangan sistem jaringan transportasi dan pengembangan sistem kota-kota. Pengembangan sistem jaringan transportasi akan sangat mempengaruhi para investor dalam menentukan rencana investasi di suatu daerah, dengan antara lain mempertimbangkan faktor relatif tingginya tingkat aksesibilitas antara lokasi investasi dengan pasar (konsumen) sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi modal yang akan ditanamnya.
Sejalan dengan pengembangan sistem
jaringan transportasi, pengembangan sistem kota-kota sangat penting untuk
di ketahui oleh para calon investor, dengan pertimbangan bahwa kota sebagai
suatu 'growth-pole' (kutub pertumbuhan) dari wilayah di sekitarnya ('urban
hinterland'). Sebagai suatu kutub pertumbuhan, kota merupakan lokasi terkonsentrasinya
kegiatan perekonomian dan kemasyarakatan (sosial ekonomi), yang sudah barang
tentu akan sangat diperhitungkan oleh para calon investor untuk menanamkan
modalnya pada wilayah di sekitar kota-kota pusat pertumbuhan tersebut.
Dengan jelasnya arahan pengembangan sistem kota-kota dan jaringan jalan
yang menghubungkan kota-kota pusat pertumbuhan tersebut, maka pihak calon
investor akan dapat mengantisipasi peluang pengembangan sektor tertentu
di suatu wilayah, dengan tetap mempertimbangkan potensi dan permasalahan
khusus yang dihadapi oleh masing-masing daerah.
PENUTUP
Pembangunan daerah perbatasan antara dua daerah atau lebih dapat dilakukan secara bersama. Salah satu caranya adalah dengan menyelenggarakan pertemuan secara periodik di antara para aparat perencana dari dua daerah yang bersangkutan. Dalam pertemuan tersebut dapat dilakukan pembahasan bersama terhadap permasalahan yang sifatnya komunalitas/kebersamaan antara kedua daerah yang bersangkutan, serta dicarikan alternatif pemecahannya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh kedua belah pihak, sehingga masing-masing dapat saling mengisi dan tidak saling bersaing. Hal ini perlu kita sepakati, mengingat dengan saling mengisi kita dapat memanfaatkan potensi sumberdaya yang terbatas ketersediaannya secara lebih efisien. Dengan adanya komitmen 'one for all' terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, misalnya, akan tercipta suatu 'sense of belonging' dari masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah hulu sungai maupun yang di wilayah hilir sungai dalam memelihara DAS dan WAS yang menjadi milik bersama.
Mekanisme pengelolaan pembangunan daerah perbatasan perlu lebih dimantapkan, yang salah satu caranya adalah dengan menyelenggarakan pertemuan periodik yang dapat diadakan setiap tahun atau dua kali setahun, tergantung dari urgensitas penanggulangan permasalahan yang dihadapi, dengan sedapat mungkin diintegrasikan dengan mekanisme perencanaan pembangunan daerah yang telah ada. Dalam pertemuan tahunan tersebut sekaligus dapat dibicarakan rencana investasi yang akan dilaksanakan oleh masing-masing pihak, yang dengan demikian dapat menghindarkan dari kegiatan-kegiatan yang tumpang tindih maupun duplikasi kegiatan antara kedua belah pihak, serta dalam menterpadukan penanganan terhadap permasalahan yang dihadapi bersama antara dua daerah yang berbatasan.
Selain itu dapat diadakan pula pertemuan tengah tahunan untuk saling menyampaikan laporan yang berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dilakukan kedua belah pihak dalam menanggulangi permasalahan yang dihadapi bersama. Pemantauan oleh masing-masing pihak juga perlu dilaksanakan untuk dapat dilaporkan pada pertemuan tengah tahunan tersebut. Hasil pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan di masing-masing daerah, diharapkan dapat dijadikan masukan bagi penyempurnaan kerjasama pembangunan di antara kedua belah pihak.
Di waktu yang lampau pertemuan atau rapat koordinasi pembangunan daerah perbatasan telah diadakan secara rutin, yaitu antara Jawa Timur dan Bali, antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan yang lain-lain. Mudah-mudahan pertemuan tersebut masih berjalan secara efektif yang segera dapat diwujudkan dan diimplementasikan ke dalam proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan di masing-masing daerah dalam rangka memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.
Demikianlah secara singkat beberapa hal yang dapat dikemukakan dan tentunya masih banyak masalah-masalah yang dapat dibicarakan bersama dalam pertemuan ini untuk dicarikan jalan keluarnya sehingga diperoleh manfaat bersama.
Terima Kasih.