Pemantapan Program
Kerjasama Antardaerah
-
Program Kerjasama Pembangunan Antardaerah
diatur secara formal dalam pasal 65 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, yang selanjutnya dipertegas dalam Permendagri No.
6 Tahun 1975 tentang Kerjasama Antardaerah dan Kepmendagri No. 275 Tahun
1982 tentang Pedoman Kerjasama Antardaerah.
-
Dalam pembinaan pengelolaannya, terdapat
dua instansi di Departemen Dalam Negeri yang bertanggung jawab, yaitu Ditjen
PUOD (dengan berpedoman kepada Permendagri 6/1975) yang bobotnya lebih
kepada pembinaan kerjasama antardaerah dalam bidang pemerintahan, dan Ditjen
Bangda (dengan berpedoman kepada Kepmendagri 275/1982) yang bobot pembinaannya
lebih berorientasi kepada bidang pembangunan.
-
Program kerjasama antardaerah dilaksanakan
dengan ruang lingkup bidang/sektor/program yang secara formal berdasarkan
Kepmendagri 275/1982 terdiri dari 14 bidang kegiatan: (i) pengadaan tenaga
kerja (AKAD); (ii) pengadaan air dan irigasi pertanian beserta pemeliharaannya;
(iii) pemeliharaan sumber alam dan lingkungan hidup; (iv) pembangunan sarana
dan prasarana perhubungan; (v) pariwisata,; (vi) pembinaan permukiman dan
penyebaran penduduk (transmigrasi); (vii) pembangunan dan pemeliharaan
saluran air minum dalam memenuhi kebutuhan penduduk di dua daerah atau
lebih; (viii) peningkatan hasil produksi pertanian, industri, dan kerajinan
rakyat dan pengaturan dalam pemasarannya; (ix) penelitian sumber-sumber
pembangunan; (x) pemberian bantuan tenaga ahli, permodalan, atau peralatan;
(xi) pendidikan dan penyelenggaraan peningkatan keterampilan; (xii) tukar
menukar informasi; (xiii) pelayanan kesehatan; dan (xiv) bidang kegiatan
lainnya.
-
Pada kenyataannya, selama 20 tahun terakhir
ini, pelaksanaan program kerjasama antardaerah belum diselenggarakan secara
merata di seluruh propinsi dati I ataupun kabupaten/kotamadya dati II.
Dati I yang telah melaksanakan program kerjasama antardaerah hingga saat
ini, berasarkan inventarisasi yang telah dilakukan oleh Ditjen Bangda meliputi
15 propinsi dati I, yaitu: (i) Propinsi DKI Jakarta yang telah melakukan
kerjasama dengan 14 propinsi lainnya; (ii) 4 propinsi di Kalimantan yang
telah melakukan kerjasama antardaerah yang dirumuskan dalam forum Konregbang;
(iii) Propinsi DI Yogyakarta yang telah melakukan kerjasama antardaerah
dengan Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah;
(iv) Propinsi Bali yang telah melakukan kerjasama dengan 5 propinsi di
Pulau Jawa; (v) kerjasama yang dilakukan antara Propinsi Sumatera Utara
dengan DI Aceh; (vi) Propinsi Sumatera Selatan yang melakukan kerjasama
dengan DKI dan Jawa Barat; (vii) antara Propinsi Timor Timur dengan NTT;
dan (viii) antara Propinsi Lampung dengan Bengkulu.
-
Dilihat dari substansi kerjasama antardaerah
yang dilakukan, yang yang bersifat bilateral maupun multilateral, bidang
pembangunan dan pemerintahan masih menunjukkan bobot yang relatif berimbang.
Hal ini terutama dapat terlihat dari bidang kegiatan yang biasanya dibahas
dalam forum Rapat Koordinasi Perbatasan (RAKORTAS) yang selama ini dilaksanakan
secara tahunan diantara propinsi-propinsi di Pulau Jawa, yang bobot bidang
kegiatan yang dikerjasamakan berbeda dari tahun ke tahun tergantung dari
topik/tema yang dipilih (pembangunan atau pemerintahan).
-
Salah satu konsekuensi dari pembedaan
orientasi bidang kegiatan yang dikerjasamakan, adalah konsekuensi terhadap
instansi pengelola/koordinator bidang kegiatan yang ada di masing-masing
daerah, yaitu antara Bappeda Tk. I (untuk bidang pembangunan) dengan Asisten
I Sekwilda Tk. I Bidang Pemerintahan (untuk bidang pemerintahan). Dengan
adanya permasalahan inkonsistensi dalam pengelolaan/koordinasinya, berimplikasi
kepada rendahnya tindak lanjut/perwujudan dari proyek/kegiatan yang telah
disepakati untuk dikerjasamakan diantara dati I yang terkait. Terlebih
lagi apabila dikaitkan dengan konstelasi mekanisme perencanaan P5D -- dimana
forum-forum sejenis Rakortas tersebut tidak secara formal dicantumkan dalam
P5D -- maka keberlanjutan dan konsistensi hasil kesepakatan bersama untuk
dijabarkan ke dalam proyek-proyek di masing-masing daerah menjadi kurang
terjamin.
-
Hal lain yang juga sangat perlu dipertanyakan
adalah intensitas forum kerjasama yang perlu dijalin antardaerah yang pada
umumnya saling berbatasan tersebut, apakah dilakukan secara tahunan atau
lebih berorientasi jangka menengah (5 tahunan). Sebenarnya, pola kerjasama
yang telah dilakukan diantara 4 propinsi di Kalimantan, yang dilakukan
secara tahunan melalui forum Konregbang, dapat dijadikan contoh pola yang
cukup efektif dalam rangka mewujudkan hasil kesepakatan kerjasama antardaerah
ke dalam DUP/DUPDA yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya. Selain
itu, pola kerjasama yang diintegrasikan dalam mekanisme P5D tersebut telah
memiliki Sekretariat Bersama (Sekber) antar-Bappeda Tk. I yang akan menindaklanjuti
hasil kesepakatan yang diperoleh dalam Konregbang untuk selanjutnya diintegrasikan
dengan DUP prioritas hasil Rakorbang dan selanjutnya diajukan dalam forum
Konasbang. Berbeda dengan pola kerjasama yang dilakukan diantara propinsi
di Jawa melalui forum Rakortas yang tidak termasuk P5D, sehingga konsistensi
dan keberlanjutan perwujudannya dalam DIP/DIPDA masih belum sepenuhnya
terjamin, karena tidak terikat/terkait dengan forum-forum lanjutannya hingga
Konasbang.
-
Adanya beragam kinerja pelaksanaan program
kerjasama antardaerah tersebut, tidak terlepas dari masih adanya dualisme
di dalam pembinaan pengelolaannya yang dilakukan oleh Depdagri, yaitu antara
Ditjen PUOD dan Ditjen Bangda. Untuk dapat lebih mendayagunakan program
kerjasama antardaerah, diperlukan adanya pembaharuan dan penterpaduan dalam
pembinaan pengelolaannya, yang antara lain akan dimulai dengan menyempurnakan
pedoman kerjasama antardaerah yang dapat menterpadukan kedua visi dan misi
yang diemban oleh Ditjen Bangda dan Ditjen PUOD secara bersama-sama. Terlebih
lagi dengan memperhatikan bahwa khususnya dalam lingkup perkotaan (kotamadya),
telah pula disusun rancangan Kepmendagri tentang Pedoman Kerjasama Antarkota
yang tengah disiapkan oleh Ditjen Bangda, yang menunjukkan akan semakin
beragam peraturan dan rancunya pemahaman daerah terhadap program kerjasama
antardaerah.
-
Selanjutnya dengan mempertimbangkan bahwa
kerjasama yang dilakukan selama ini masih sangat berorientasi sektoral,
dan belum sepenuhnya mengarah pada upaya pembangunan yang berorientasi
pada pembangunan wilayah, maka perlu dilakukan reorientasi program kerjasama
yang dapat diarahkan pada kawasan-kawasan prioritas yang mewakili kepentingan
bersama (common priority areas) seperti pada kawasan-kawasan andalan
yang telah ditetapkan dalam RTRW baik di tingkat nasional maupun tingkat
pulau (supra-propinsi). Belum lagi dengan mempertimbangkan adanya peluang
kerjasama yang bersifat internasional, seperti IMS-GT, IMT-GT, dan BIMP-EAGA,
maka kerjasama yang dilakukan perlu juga diarahkan kepada penciptaan comparative
dan competitive advantage yang semakin meningkat secara bersama-sama
diantara propinsi-propinsi yang terlibat; atau dengan kata lain, perlu
adanya perubahan orientasi untuk tidak sekedar inward looking, tapi
juga sekaligus memperhitungkan peluang kerjasama internasional yang menuntut
outward looking yang lebih besar.