PENINGKATAN DAYAGUNA DAN PEMANTAPAN
INTEGRASI DATA POKOK PEMBANGUNAN DAERAH
KINERJA PENGEMBANGAN DATA POKOK
PEMBANGUNAN DAERAH
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
secara historis penyusunan data pokok pembangunan daerah telah dimulai
sejak TA 1988/89 melalui program penyusunan peta penyebaran pembangunan
daerah di masing-masing dati I dan dati II, yang selanjutnya pada TA 1990/91
diatur melalui Inmendagri Nomor 23 Tahun 1990 tentang Penyusunan dan Pemanfaatan
Data Pokok Pembangunan untuk Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pemantauan Pembangunan
di Daerah. Dalam rangka pengembangannya, pada kurun tiga tahun terakhir
ini melalui pendanaan bersama APBN dan APBD telah pula dilakukan pelatihan
komputerisasi terhadap aparat Bappeda Tingkat I dan Tingkat II seluruh
Indonesia, dengan menggunakan program GIS software Delta-9B yang telah
dikembangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk memudahkan calon
user/operator dari daerah yang dilatih.
Di dalam perkembangannya selama delapan
tahun hingga TA 1996/97 ini, dirasakan perlu adanya penyesuaian terhadap
dasar hukum pengelolaan data pokok pembangunan daerah, atau diperlukan
adanya penyesuaian terhadap Inmendagri No. 23 Tahun 1990, yang nampaknya
sudah kurang akomodatif terhadap perekembangan yang terjadi selama 8 tahun
terakhir ini. Sebagai contohnya, Inmendagri 23/1990 masih sangat berorientasi
pada peran Kantor Agraria (BPN) di daerah dalam menyediakan peta dasar
pembangunan daerah. Selain itu, Inmendagri tersebut juga belum sama sekali
mempertimbangkan aspek penataan ruang wilayah/daerah (RTRW) sebagai salah
satu dokumen utama perencanaan.
Sejalan dengan diterbitkannya UU No.
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka perlu adanya penyesuaian terhadap
beberapa konsideran pokok dalam pengembangan data pokok pembangunan daerah,
seperti: (i) konsiderasi 'time frame' RTRW dati I dan dati II yang relatif
berjangka menengah dan panjang; (ii) skala peta RTRW dati I (1:250.000)
dan RTRW dati II (1:100.000) juga perlu disesuaikan dengan peta data pokok;
(iii) konsiderasi penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya (kawasan
andalan dan sektor unggulan), dan kawasan tertentu yang telah ditetapkan
oleh masing-masing RTRW dati I dan dati II; dan (iv) instansi koordinator
dari pengelolaan tata ruang daerah yang tidak lagi didominasi oleh peran
Kanwil/Kantor BPN, namun oleh Bappeda tingkat I dan tingkat II.
Ketersediaan data dan informasi geografis
yang memadai sangat diperlukan dalam penataan ruang, agar usaha optimasi
pemanfaatan ruang wilayah dapat dicapai. Data dan informasi geografis yang
diperlukan dalam tahap perencaaan tata ruang wilayah adalah data dan informasi
geografis yang beraspek sumber daya alam sebagai faktor penunjang dan unsur-unsur
pembatas lingkungan fisik sebagai faktor kendala. Data SIG sumber daya
alam antara lain meliputi: (a) sumber daya lahan, (b) sumber daya air,
dan (c) sumber daya mineral dan energi. Sedangkan data pembatas lingkungan
terdiri dari (a) pembatas alami (data potensi bencana alam) dan (b) pembatas
yang timbul akibat ulah manusia (seperti penurunan kualitas lingkungan).
Berbagai data geografis yang beraspek
sumber daya alam dan unsur pembatas di atas ditampilkan ke dalam peta-peta
tematik atau peta kompilasi yang mudah dibaca dan dimengerti oleh para
perencana ruang wilayah.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
bahwa sistem informasi sangat dibutuhkan dan merupakan kebutuhan pokok
dalam rangka peningkatan kualitas penataan ruang, yang dalam rangka itu
perlu dilakukan perluasan cakupan sistem informasi yang telah ada
pada berbagai instansi saat ini menjadi suatu sistim yang terpadu
yang menghimpun informasi mengenai ruang wilayah daratan, ruang wilayah
lautan dan ruang udara beserta potensi sumberdaya yang terkandung didalamnya.
Pelaksanaan berbagai proyek pembangunan
yang diarahkan untuk memantapkan data pokok pembangunan daerah yang bersifat
spasial, antara lain dalam bentuk sistem informasi geografis (SIG), seperti
yang dikembangkan melalui proyek berbantuan luar negeri Land Resources
Evaluation and Planning (LREP) dan Marine Resources Evaluation and Planning
(MREP), sebenarnya sekaligus telah memperkuat kemampuan kelembagaan dan
aparat perencanaan di daerah (khususnya Bappeda) di dalam membangun
data pokok dan informasi neraca sumber daya alam yang ada di wilayah
daratan dan wilayah laut.
Dalam prakteknya, keberadaan SIG matra
daratan dan laut tersebut di masing-masing daerah telah memberikan bantuan
yang sangat penting kepada pemerintah daerah di dalam memantapkan penyusunan
rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing daerah. Pengembangan SIG
di daerah tersebut, tidak hanya melalui penyediaan sarana dan prasarana
piranti keras dan lunak komputer, namun juga sekaligus menembangkan kualitas
sumber daya aparat perencana pemerintah daerah melalui kegiatan pelatihan
yang dilaksanakan baik di dalam maupun di luar negeri. Kualitas dan kesiapan
sumber daya aparatur perencana di daerah sangat vital peranannya di dalam
mengembangkan dan memelihara (updating) SIG yang telah disusun,
serta sekaligus dalam mengimplementasikan SIG ke dalam rencana tata ruang
wilayah di daerahnya masing-masing.
Salah satu permasalahan dalam penataan
ruang yang telah teridentifikasi adalah kurang tersedianya informasi geografis
yang memadai, khususnya masalah ketersediaan peta dasar, yang antara lain
ditunjukkan oleh:
-
belum tersedianya peta dasar dan belum
adanya kesepakatan mengenai peta yang akan dipakai sebagai peta dasar dalam
penataan ruang;
-
relatif rendahnya akses terhadap informasi
berupa peta dasar produk TNI-AD yang selama digunakan; dan
-
relatif terlambatnya pemberian prioritas
terhadap program pemetaan nasional dan daerah (yang baru pada periode Repelita
VI).
Hingga saat ini, peta topografi yang
ada adalah peta topografi produk TNI-AD (non-digital) dan peta rupa bumi
yang dibuat Bakosurtanal dengan informasi yang kurang terinci. Status terakhir
menunjukkan bahwa kombinasi dari kedua produk peta tersebut telah mencakup
65% dari seluruh wilayah Indonesia.
Dalam rangka penataan ruang, maka
peta dasar untuk penataan ruang wilayah bagi setiap tingkatan rencana tata
ruang adalah:
untuk RTRW nasional, digunakan peta dasar
dengan skala 1:1.000.000 yang disusun Bakosurtanal, dan 1:500.000 untuk
peta lingkungan laut nasional (digital);
untuk RTRW propinsi, digunakan peta RePProT
dengan skala 1:250.000 (digital);
untuk RTRW kabupaten, digunakan peta
topografi/rupa bumi dengan skala beragam antara 1:50.000 (untuk Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi), 1:100.000 (untuk Irian Jaya dan Maluku), hingga
1:25.000 (untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara).
Sebagaimana diketahui, penyediaan peta-peta
tersebut dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal). Dalam kaitannya dengan lebih memantapkan kegiatan penataan
ruang wilayah, maka dalam upaya untuk mengatasi permasalahan ketidaktersediaan
peta, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan bersama, yaitu:
penyeragaman peta dasar yang digunakan
dalam penataan ruang wilayah,
peningkatan kemampuan aparatur dan kelembagaan
pemda dalam kegiatan pemetaan dan penataan ruang wilayah.
Selain itu, perlu diupayakan pula sinkronisasi
dan penyeragaman legenda dan nomenklatur peta, khususnya mengenai penggunaan
lahan baik yang bersifat umum maupun yang khusus untuk masing-masing instansi
sektoral terkait.
BEBERAPA POKOK PERHATIAN DALAM PENGELOLAAN
DATA DASAR BAGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM REPELITA VI
Dalam kaitannya dengan penyusunan
basis data spasial dan sumber daya alam di tingkat daerah, selama ini melalui
pelaksanaan proyek LREP dan MREP yang dilaksanakan pada beberapa daerah
sebenarnya telah semakin meningkat dan kuatnya basis data spasial daerah,
serta sekaligus mendukung upaya penyusunan neraca kependudukan dan lingkungan
hidup daerah (NKLD) dan neraca sumberdaya alam dan spasial daerah (NSASD)
di masing-masing daerah. Walaupun demikian, keberadaan dari berbagai jenis
data spasial tersebut perlu dievaluasi dan dikaji kembali hasilgunanya,
khususnya dalam kaitannya dengan upaya pencapaian sasaran program penataan
ruang dan inventarisasi sumber daya alam yang telah ditetapkan dalam Repelita
VI ini.
Dengan memperhatikan arahan yang telah
dutuangkan dalam Inmendagri Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penyusunan NKLD
dan NSASD, maka dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasilguna dari pelaksanaan
kedua proyek penyusunan data dasar sumber daya spasial daerah di atas (LREP
dan MREP), paling tidak terdapat 3 indikator keberhasilan yang akan dinilai
tingkat pencapaian sasarannya, yaitu:
berfungsi secara efektifnya Provincial
Data Center (Pusat Data Propinsi/PDP) sebagai suatu wadah koordinasi
antarinstansi dalam perencanaan pembangunan di masing-masing daerah;
tersusunnya peta zonasi lahan dan kelautan
tingkat propinsi dengan skala 1:250.000 sebagai acuan kerangka makro pembangunan
di daerah; dan
tersusunnya peta perencanaan semi ditail
dengan skala 1:50.000 dan 1:250.000 di areal prioritas proyek LREP-II dan
MREP, yang kesemuanya diarahkan untuk dapat dipadukan dan diselaraskan
dalam rangka mewujudkan NKLD dan NSASD yang diperlukan sebagai kerangka
acuan makro dan teknis dalam rangka menunjang perencanaan, pemanfaatan,
dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam sebagai potensi pembangunan
daerah.
Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan
peranan dan fungsi dari Pusat Data Propinsi (PDP) sebagai wadah koordinasi
perencanaan dan pengendalian data dasar sumber daya alam spasial untuk
pembangunan daerah, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai
berikut:
Koordinasi, sinkronisasi dan integrasi
berbagai data dan informasi yang terkait dengan pemetaan sumber daya
alam dan potensi daerah lainnya. Dalam hal ini, keberadaan dari peta-peta
dasar spasial/geografis (SIG) yang telah dihasilkan melalui proyek LREP
dan MREP (bagi 10 propinsi pelaksana) serta data pokok pembangunan
daerah perlu dipadukan dan diselaraskan, termasuk dibakukan
perangkat lunaknya seperti antara Arc-Info (LREP dan
MREP) dengan Delta-9B (data pokok), sebagaimana telah ditegaskan
melalui SE Dirjen Bangda dalam rangka menselaraskan dan menterpadukan
pelaksanaan LREP dan MREP dalam rangka menunjang penyusunan NKLD dan NSASD
di masing-masing daerah.
Pertimbangan perlu adanya koordinasi
dan optimasi keberadaan dari KPDE (kantor pengolahan data elektronik
di dati I dan dati II) yang mengelola SIMDA dalam menunjang SIMDAGRI,
yang ditetapkan berdasarkan Kepmendagri No. 45 Tahun 1992 (sebelum
dirancangnya pembentukan PDP melalui LREP-II dan MREP). Hal ini termasuk
perlu diselaraskan dan diterpadukannya peralatan yang dimiliki oleh
PDE dan PDP untuk dapat lebih optimal dimanfaatkan sebagai wadah koordinasi
antarinstansi dalam perencanaan pembangunan daerah.
Optimasi keberadaan staf perencana
di Bappeda dan instansi terkait dati I yang telah mengikuti kursus dan
pelatihan perlu terus dijaga, dan diupayakan adanya 'transfer of knowledge'
dari mereka dalam rangka keberlanjutan pelaksanaan kegiatan penyusunan
NKLD dan NSASD, khususnya pada pasca proyek LREP dan MREP. Selain itu,
keberadaan dari beberapa tim teknis perencanaan spasial di Bappeda
yang melibatkan staf teknis purnawaktu dan paruhwaktu seperti pada Tim
Physical Planning (TPP) dan unit GIS sebagai motor penggerak PDP sangat
perlu dipertimbangkan kemungkinan pengangkatannya sebagai staf organik
pemda pada pasca proyek. Selanjutnya, keberadaan dari para konsultan juga
harus dimanfaatkan secara optimal oleh Bappeda, serta sekaligus telah mulai
menerima estafet "kepakaran" dari para konsultan, guna menjamin
keberlanjutan kegiatan pada pasca proyek.
Masih terkait dengan aspek kelembagaan,
keberadaan dari beberapa tim-tim teknis dan koordinatif yang dibentuk
dalam proyek LREP dan MREP dan dengan telah dibentuknya Pusat Data Propinsi,
serta Tim Penyusunan NKLD dan NSASD sesuai dengan arahan Inmendagri
Nomor 39 Tahun 1995, perlu dipertimbangkan kemungkinannya sebagai cikal
bakal (embrio) dari rencana pembentukan Tim Koordinasi Tata Ruang Daerah
yang dirasakan kebutuhannya telah semakin mendesak baik di dati I maupun
dati II.
UPAYA PENYEMPURNAAN JUKLAK/JUKNIS
PENYUSUNAN DATA POKOK PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan pesatnya laju pertumbuhan pembangunan
daerah, yang memberikan konsekuensi pada perlunya penyesuaian juklak/juknis
penyusunan data pokok, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
sebagai berikut:
-
perlunya reidentifikasi data pokok pembangunan
daerah;
-
pemantapan sumber informasi dan data
yang digunakan dalam penyusunan dan pengelolaan data pokok pembangunan
daerah, termasuk dalam meng'update' dan me'refine' data pokok
yang telah disusun selama ini;
-
pemasayarakatan data pokok pembangunan
daerah kepada 'users'; dan
-
perlunya penyempurnaan terhadap dasar
hukum penyusunan data pokok yaitu Inmendagri No. 23 Tahun 1990.
Selain itu, secara lebih teknis, perlu
pula dimantapkan dan disempurnakan: (i) standarisasi peta; (ii) koordinasi
data pokok; (iii) sumberdaya manusia (brainware), hardware,
dan software; dan (iv) pemanfaatan data pokok pembangunan daerah.
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan
beberapa konsideran pokok tersebut di atas, perlu dilakukan beberapa langkah
tindak lanjut yang lebih teknis sifatnya, yang antara lain meliputi beberapa
upaya sebagai berikut:
-
Perlu adanya sinkronisasi sumber data
dan informasi yang dikembangkan program Delta-9B untuk data pokok,
seperti data-data GIS yang telah dikembangkan melalui LREP-II dan MREP
di masing-masing dati I;
-
Perlu adanya kesepakatan pemantapan
manfaat data pokok: apakah hanya menghasilkan profil/potret daerah,
atau sebagai 'policy input', atau 'planning, implementing, monitoring,
and controlling input'?, yang membutuhkan pembedaan terhadap output
yang dihasilkan;
-
Perlu adanya kesepakatan jenis data
pokok yang akan dihasilkan, yang perlu didukung dengan identifikasi/inventarisasi
data pokok yang telah dicakup selama ini dan yang belum dicakup data pokok
namun dibutuhkan dalam upaya penentuan pencapaian sasaran (baik jangka
pendek, menengah, maupun jangka panjang) pembangunan daerah;
-
Perlu kesepakatan untuk menentukan instansi
koordinator yang akan mengkoordinasikan pengelolaan data pokok, terutama
dengan mempertimbangkan eksistensi RTRW dati I dan dati II yang telah disusun
masing-masing;
-
Perlu ditegaskan 'time framework/period'
dari data pokok yang dihasilkan, yang disesuaikan dengan 'target
input'nya: apakah jangka panjang, menengah, atau tahunan (terutama
untuk mendukung penyusunan Sarlita)?;
-
Perlu ditegaskan koordinasi lintasdata,
lintassektor, dan lintaslembaga yang perlu dikembangkan, terutama dengan
pertimbangan tersebarnya data dan informasi yang telah ada, serta instansi/lembaga
dan sektor pengelola data di masing-masing daerah;
-
Perlu penegasan jalur pelaporan output
data pokok dari daerah tingkat II, ke dati I, hingga ke Pusat, serta
sekaligus penentuan instansi pengguna dari data pokok tersebut baik di
dati I maupun di Pusat;
-
Perlu adanya penegasan terhadap kontribusi
pendanaan dari APBD terutama dalam penyediaan hardware, software,
dan brainware untuk me'maintain' dan meng'update' data
pokok yang telah disusun.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan upaya
untuk menyusun peta zonasi lahan dengan skala 1:250.000, perlu didahului
dengan integrasi dan pengakuratan (updating) data dan informasi
yang dijadikan acuan koordinasi perencanaan pembangunan selama ini, seperti
data dan informasi dari RePProT dan RTRW (khususnya untuk RSTRP dan RUTRK
yang disusun sebelum terbitnya UUPR). Selain itu, dengan mempertimbangkan
semakin mendesaknya kebutuhan untuk melakukan review dan evaluasi serta
penyesuaian terhadap RTRWP dan RTRWK untuk dapat disesuaikan dengan arahan
nasional dalam RTRWN, maka keberadaan dari peta zonasi lahan sangat penting
untuk dapat segera dimanfaatkan.
Sejalan dengan itu, dengan memperhatikan
rencana pengembangan Sistem Informasi Manajemen Departemen Dalam Negeri
(SIMDAGRI) dan SIM Daerah (SIMDA) yang penerapan dan pengembangannya di
daerah telah diinstruksikan kepada Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE)
di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, termasuk dalam mengantisipasi
rencana pengembangan Sistem Komunikasi Depdagri (SISKOMDAGRI) sesuai dengan
Kepmendagri No. 20 Tahun 1995 dan Inmendagri No. 5A Tahun 1995 jo. Inmendagri
No. 31A Tahun 1996, maka terdapat pula beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka penyempurnaan juklak dan juknis data pokok yang akan datang,
yaitu:
-
perlu diciptakan keterkaitan antara pembentukan
PDC sebagai suatu pusat informasi di daerah dengan berbagai sistem informasi
yang telah berkembang baik di pusat maupun di daerah pada saat ini, seperti
SIMDAGRI, SIMBANGDA, SIMDA, SISKOMDAGRI, SIG (LREP/MREP), dan IPTEK-Net
(BPPT), dalam rangka mewujudkan pembangunan suatu pusat informasi teknologi
yang terintegrasi dengan sistem-sistem yang telah ada;
-
perlunya penterpaduan rancangan struktur
kelembagaan PDC yang akan dibentuk pada dati I dan dati II, serta pusat
pelayanan informasi teknologi di tingkat kecamatan, dengan berbagai lembaga
penyedia dan pengolah data yang telah ada dan beroperasi di daerah;
-
perlunya diperhitungkan keberadaan berbagai
instansi/dinas di dati I dan dati II di dalam menghasilkan informasi dan
mengelola pengembangan teknologi dalam beberapa sektor produksi tertentu,
seperti perindustrian melalui BIPIK dan pertanian melalui BPTP, perlu dipertimbangkan
sebagai suatu aset yang perlu diintegrasikan dalam PDC yang akan dikembangkan
di daerah;
-
pihak Departemen Dalam Negeri sendiri,
khususnya Setjen (Biro Ortala), perlu melakukan koordinasi internal di
tingkat pusat dalam kaitannya dengan pengembangan SIMDAGRI dan SISKOMDAGRI,
yang apabila konfigurasi dan rancangan sistemnya dapat layak dan memungkinkan
secara teknis dan ekonomis, perlu diterpadukan dengan rencana pengembangan
PDC dengan sekaligus mengoptimalkan keberadaan KPDE dan Kantor Statistik
di dati I dan dati II.
UPAYA PENTERPADUAN DATA POKOK PEMBANGUNAN
DAERAH
Dengan mempertimbangkan relatif beragamnya
jenis data pokok dan kompleksnya pengelolaan basis data bagi pembangunan
daerah, dalam rangka lebih meningkatkan dayaguna dari basis data dan informasi
pembangunan daerah yang dibutuhkan dalam rangka menyusun suatu masukan
bagi penentu kebijakan (policy inputs) di tingkat daerah, maka diperlukan
suatu upaya penterpaduan berbagai data dan informasi yang beragam dan tersebar
tersebut ke dalam suatu basis data pembangunan daerah yang terpadu.
Dalam rangka itu, perlu diperhatikan
beberapa aspek pokok untuk mewujudkan suatu data pokok pembangunan daerah
yang terpadu sebagai berikut:
-
Aspek Kelembagaan. Rencana pembentukan
PDC (provincial data center) masih merupakan isyu yang hingga saat ini
masih belum dapat diwujudkan realisasinya, baik secara fungsional (keproyekan)
maupun secara struktural (dalam lingkup Bappeda Tk. I). Untuk itu, dalam
Rakorteknas dicoba dibicarakan kemungkinan pengintegrasian komponen dan
subkomponen dari proyek LREP dan MREP ke dalam PDC yang dibentuk secara
fungsional atau struktural pada Bappeda Tk. I pelaksana. Rencana pembentukan
PDC sebagai Pusat Data dan Informasi Keruangan Daerah (PDIKD) tersebut,
merupakan salah satu target akhir dari pelaksanaan LREP dan MREP di daerah.
-
Aspek integrasi internal. Selain
upaya untuk mengintegrasikan LREP dan MREP yang dibiayai melalui pinjaman
ADB dan memiliki nuansa substansi yang sama, sebenarnya terdapat beberapa
data pokok lainnya yang juga dikelola di Bappeda Tk. I, seperti Neraca
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Daerah (NSDALD) yang juga dikelola
oleh Bidang Fispra (seksi LH), serta Data Pokok Pembangunan Daerah yang
dikelola oleh Bidang Statistik dan Pelaporan Bappeda Tk. I. Selama ini,
eksistensi dari kedua data pokok di atas belum diperhatikan dan diupayakan
penterpaduannya dengan data spasial matra darat dan matra laut yang dihasilkan
LREP dan MREP, mengingat pengelolaan LREP dan MREP yang masih sangat berorientasi
pada proyek.
-
Integrasi secara eksternal. Selain
dari berbagai data yang dikelola dalam lingkup Bappeda di atas, terdapat
pula data pokok lainnya yang juga dikembangkan di daerah melalui instansi
Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) yang berada di bawah koordinasi
Setwilda Tk. I, yang selama ini mengelola/mengolah data-data yang terkait
dengan pengembangan SIMDA (sistem informasi daerah) sesuai dengan Kepmendagri
No. 45 Tahun 1992 tentang Pembangunan SIMDAGRI dan SIMDA. Namun demikian,
mengingat jenis data yang diolah KPDE relatif bersifat administratif, seperti
data kepegawaian, data keuangan, dan data perlengkapan yang diperlukan
dalam lingkup Setwilda, maka upaya pengintegrasian PDC dengan KPDE perlu
dikaji lebih lanjut kompatibilitas dan kelayakannya.
-
Aspek legalitas/formalitas. Kelembagaan
PDC hingga saat ini belum formal terbentuk, walaupun secara fungsional
telah mempekerjakan staf proyek yang bekerja secara fungsional keproyekan
(non-struktural). Untuk itu diperlukan suatu upaya pemantapan status dari
PDC, apakah sebagai suatu lembaga struktural yang secara struktural melekat
dalam struktur Bappeda atau secara fungsional terpisah sebagai institusi
tersendiri di luar Bappeda. Namun demikian, apabila pilihan yang kedua
(fungsional terpisah) yang akan dipilih, maka perlu dipertimbangkan keberadaan
KPDE yang telah dibentuk melalui dasar hukum yang kuat (Kepmendagri). Maka
pilihan selanjutnya akan menjadi, membuat institusi tersendiri atau melakukan
integrasi PDC ke dalam KPDE yang perlu diperluas cakupannya dan dikembangkan
fungsinya. Apabila memungkinkan, juga perlu dipertimbangkan pembentukan
PDC sebagai suatu profit institution yang dapat memproduksi data
dan peta dasar bagi kalangan dunia usaha di daerah, yang penerimaannya
selain dapat digunakan untuk insentif staf PDC juga dapat sekaligus meningkatkan
pendapatan asli daerah.
-
Aspek sumberdaya manusia. Dengan
memperhatikan bahwa salah satu komponen pokok dari LREP dan MREP adalah
dalam peningkatan kualitas aparatur perencana di daerah dalam aspek keruangan
(matra darat dan laut) melalui kegiatan pelatihan baik di dalam maupun
luar negeri, maka yang diperlukan dalam fase pasca pelatihan adalah melakukan
transfer of knowledge atau carry over kepada staf perencana
lainnya di Bappeda yang terkait dengan rencana pengelolaan sumberdaya lahan
dan pesisir. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sekitar
20% dari aparat yang telah dilatih tersebut ternyata mengalami promosi
dan/atau mutasi sehingga tidak dapat menerapkan asil pelatihannya secara
berdayaguna dan berhasilguna untuk lingkup keproyekan maupun kelembagaan.
Dengan demikian, nilai tambah yang diperoleh lebih bersifat individual
dan bukan nilai tambah kelembagaan. Untuk itu, rencana pembentukan PDC
sebagai wadah yang dapat mendayagunakan aparat yang telah dilatih menjadi
semakin penting, melalui lembaga yang bersifat fungsional (non-struktural)
dan mempekerjakan staf fungsional yang dapat ditugaskan secara purnawaktu.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam upaya untuk meningkatkan dayaguna basis data dan
informasi pembangunan daerah, diperlukan suatu pembakuan sumber data yang
dijadikan data dasar (database) bagi analisis propinsi yang dilakukan
oleh masing-masing daerah, baik yang bersifat data spasial maupun data
pokok nonspasial lainnya yang bersumber baik dari BPS/kantor statistik
propinsi maupun sumber lainnya.
Melalui lokakarya pengendalian dan
evaluasi data pokok pembangunan daerah kali ni, diharapkan kinerja penyusunan
data pokok bagi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan di
daerah dapat lebih meningkat dayaguna dan hasilgunanya, yang pada gilirannya
akan dapat semakin meningkatkan dan secara kontekstual dapat memenuhi terciptanya
dayaguna dan hasilguna perencanaan pembangunan daerah yang benar-benar
sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah. Hal tersebut merupakan tugas
kita bersama, khususnya antara Bappenas, Departemen Dalam Negeri dan Bappeda
Tingkat I, dalam rangka mempersiapkan penyusunan Repelita VII yang akan
segera kita mulai pada tahun 1998 yang akan datang.
Demikian dapat disampaikan dan terima
kasih atas perhatiannya.
Cipayung, 3 Maret
1997